Vote and Comment berpengaruh besar bagi author. Thanks!
-Song by: WINNER_SOSO-
Happy Reading
Mata itu mengerjap mengumpulkan kesadaran juga berusaha menangkap cahaya yang menerangi ruangan, terlihat jelas dua orang sedang berbincang, sepertinya serius.Sean berjalan pelan menuju dapur, mengambil minum karena merasa tenggorokan yang begitu kering. Ia berjalan melewati ruang tengah, jam dinding menunjukkan pukul 19:40, ternyata dia tidur lebih awal. Dia tidak begitu mengingat apa yang telah ia lakukan.
"Om sama siapa?" Gumam Sean penasaran, ingin dia mengintip bahkan menguping namun dia tahu jika hal itu tidak baik.
Sean menghirup udara dalam-dalam, menghembuskannya dengan perlahan kemudian berjalan mendekati Doni, seseorang yang bersama Doni sedikit tercengang karena kedatangan Sean.
"Lagi ngapain, Om?" Tanya Sean yang mendudukkan pantatnya ke sofa.
"Oh Sean, baru bangun ternyata, kenalan dulu sama temen Om." Doni meminta Sean untuk berjabat tangan dengan seorang perempuan yang duduk di depannya itu.
Terlihat masih muda walau sudah termakan umur, namun keriput tetap ada menghiasi wajahnya walau sedikit, mungkin juga efek makeup.
"Saya Sean, Tante." Ucapnya dengan senyum simpul.
"Tiva, panggil saja Tante Tiva." Senyum kecil itu terukir di sudut bibir Tiva. Wanita yang sudah cukup lama bekerja dengan Doni.
"Langsung saja. Jadi gini Sean, kenapa Om nggak dari dulu membongkar kasus meninggalnya orang tua kamu? Itu karena Om belum punya bukti yang penuh untuk menunjukkannya pada hukum, Om juga tidak bisa asal menuduh tanpa bukti walau naluri Om kuat, Om juga tidak bisa menyuap aparat hukum karena Om tidak suka hal seperti itu. Tapi sekarang bukti Om sudah jelas, dan Tiva tengah membantu kita, membuat bukti itu semakin kuat." Tutur Doni meyakinkan Sean.
Bukannya senang dengan kabar ini, Sean justru mengernyit heran. "Maksud, Om? Lalu Tante ini? Bagaimana bisa? Aku tak paham. Memangnya bukti apa yang Om punya selain berkas-berkas yang terus Om urus itu?"
Doni menghela nafas, menggelengkan kepalanya pelan, ia meminta Tiva untuk mengambilkan flashdisk yang selama ini jadi barang bukti.
"Ini." Doni menyodorkannya ke Sean.
Masih dengan raut wajah heran. Doni menyentil dahi Sean.
"Aish, bodohnya. Kenapa kau tak kasih tahu Om kalau di depan rumahmu ada CCTV?"
Lagi-lagi Sean mengernyit, "CCTV?"
Doni mengambil kotak atom yang ada di laci. "Papa mu benar-benar teliti sekali, ya?"
Sean mengambil kotak itu, melihat dua pasang camera kecil. Sungguh kecil. Hampir seperti biji wijen. Bahkan Sean harus mendekatkan wajahnya serta menyipitkan matanya, jika tidak jeli melihatnya pasti tak akan tahu jika itu camera.
"Ini.."
"Benar. CCTV itu terpasang di depan rumah juga garasi mobil. Papa mu hebat ya. Huh.. bahkan aku baru tahu jika di balik loteng rumah mu itu adalah ruangan pengintai." Jelas Doni yang jelas saja sekarang ini rumah Sean itu sudah lama tak dihuni, sangat lama.
Doni mendaratkan jari telunjuk juga jempolnya ke dagu. "Aku penasaran, dari mana Mesach mendapatkan CCTV kecil ini?"
"Om.. kenapa aku tak tahu hal ini?" Sean berkaca-kaca, mengingat kematian orang tuanya, mengingat dirinya juga tak pernah betah bermain di rumah kalau bukan di luar, lalu siapa lagi kalau bukan Doni karena sang papa sibuk. Maka dari itu Doni dan Sean begitu dekat. Doni pun sudah menjadi bagian dari keluarganya, serta sekertaris kepercayaan keluarga Mesach.
KAMU SEDANG MEMBACA
PLAYING WITH MY BROTHER [END]✔️
Teen Fiction[Romance 17+] =>Dimohon untuk bijak membaca sesuai umur<= ~Fansfiction~ Menaruh rasa pada lawan jenis. Bukan salah, namun apakah pantas jika itu saudara mu sendiri? Awalnya mulai mereka jalani, namun seiring berjalannya waktu, mereka menyadari satu...