26

266 28 0
                                    

  Yang terjadi selanjutnya benar-benar di luar perkiraan Luna, dunianya di buat terhenti seketika.

"Kita ngak butuh pengganggu di sini, jadi mending lo keluar!" pekik Marvel sembari menarik rambut panjang Luna yang tergerai.

Luna tentu tak diam saja, ia berusaha menahan pergerakan Marvel. Walau pada akhirnya usaha itu sia-sia, karena semakin gencar Luna menhan, maka semakin kuat pula tarikan Marvel.

Dengan posisi mendongak, Luna terus berusaha melepaskan diri dan berujar berkali-kali agar Marvel mau membiarkannya pergi.

"Ssst sakit kak, tolong lepasin," lirih Luna  menahan rambutnya.

Bukannya melunak, Marvel malah semakin menguatkan tarikannya pada rambut Luna. Tak sampai di situ, Marvel pun menarik paksa Luna ke luar rumah.

"Kak, maaf kak. Luna mau di bawa ke mana? ampun kak, sakit," Luna terus memohon.

Namun api amarah kian membara, tanpa rasa kasian Marvel menolak tubuh adiknya ke teras rumah. Lalu tanpa mengatakan apapun ia kembali menutup pintu, dan yang parahnya lagi Marvel mengunci pintu.

Luna mencoba berdiri dan berjalan mendekati pintu, mengetuk dan berujar berulang kali. Berharap Marvel sadar, dan membiarkannya masuk. Beberapa luka di kedua siku, sama sekali tak menghentikan aksi Luna.

Luna menyerah, tubuhnya melemah dan mulai merosot ke bawah. Di peluknya kedua kaki jenjang yang terbungkus celana panjang. Dinginnya malam menusuk kulit Luna, entah apa yang di lakukan Marvel dan Ira di dalam rumah, Luna harap apapun itu semoga bukan sesuatu yang serius.

Luna berusaha menenangkan dirinya sendiri, ia terus menerapkan bahwa apa yang telah terjadi itu di sebabkan oleh Marvel yang terlalu banyak mengonsumsi minuman keras. Nanti, saat sudah sadar Marvel pasti akan mengakui kesalahannya.

Namun, bagaimana jika perkiraannya salah? bagaimana jika seterusnya Marvel akan bertambah parah, dan besar kemungkinan jika laki-laki itu akan bersikap seperti dahulu kala.

Di mana ia tak sudi melihat Luna, tak lagi menganggap Luna ada, dan tak mementingkan apapun tentang Luna.

Sanggupkah? untuk kesekian kalinya Luna harus tunduk pada kenyataan dan menjalani hidupnya dengan segala risau yang tak ada akhirnya.

Melalui waktu demi waktu seorang diri, karena seseorang yang dahulu selalu ada di sampingnya kini telah pergi jauh, jauh sekali. Luna sekalipun tak dapat menjumpai orang itu, tempatnya kini terlalu tinggi untuk Luna datangi.

Seseorang yang sudah melakukan ini itu namun tetap salah seperti Luna, tak pantas berada di atas sana. Langit malam yang selalu indah akan hilang cantiknya, bintang yang selalu berkilau akan hilang kilaunya, dan awan putih akan mengabu kalau-kalau hal itu terjadi.

*  °  *  °  *

Pintu di buka secara tiba-tiba, membuat Luna yang posisinya menyender pada benda itu hampir saja kehilangan kesadarannya. Untung saja ia dengan cepat menahan tubuhnya.

Luna bergegas berdiri dan menatap perempuan di hadapannya tak suka. Karena ulah perempuan itu juga, ia harus bermalam di luar rumahnya sendiri.

"Kalian berdua ngapalin aja? kamu ngak macem-macem kan?" tanya Luna.

Karena kejadian malam tadi sudah membuatnya yakin, bawah Ira bukan lah perempuan baik-baik. Memang perasaanya saat kali pertama bertemu Ira tak salah, perempuan ini memiliki maksud tertentu dan Luna tak tau apa itu.

"Apapun yang kita lakuin semalam, sama sekali ngak merugikan gue maupun abang lo itu. Dan buat lo, siapin mental ya. Ini baru awalan, dan gue mau lo terus bertahan sampai akhir, karena gue sendiri yang bakal buat lo mengakhiri semuanya."

Tutur Ira sembari melemparkan senyuman miring kepada Luna, lalu berjalan keluar dari rumah yang menjadi tempat ia bermalam.

Luna hanya termangu, lalu mulai memasuki rumah dan bergegas memasuki kamarnya. Badannya terasa hangat, Luna izin untuk tak masuk sekolah pada hari ini. Sebenarnya bukan hanya karena suhu tubuh, melainkan juga karena rasa takut terhadap Marvel yang kembali.

Apa yang di lakukan Marvel malam tadi membuat rasa takut Luna kembali lagi, berbulan-bulan di habiskan Luna untuk menenangkan diri, dalam waktu semalam saja Marvel mampu merobohkan pertahanan nya.

Rasa pusing juga turut ikut serta, mungkin hal itu juga di sebabkan karena Luna tak meminum obatnya kemarin malam, jadilah pagi ini ia merasakan akibatnya.

Dari kamarnya Luna dapat mendengar suara pintu kamar Marvel yang di buka lalu kembali di tutup, awalnya Luna kira Marvel akan menyinggahi kamarnya. Sederhana saja, menanyakan keadaan Luna.

Namun sehat atau tidaknya Luna bukan lah hal penting bagi Marvel, karena bukan pintu kamar yang terbuka yang Luna lihat. Ia malah mendengar suara langkah kaki yang menjauh.

Ternyata pengaruh Ira dalam hidup Marvel begitu besar ya, dalam beberapa hari saja Ira bisa dengan mudah mengubah perilaku Marvel. Juga kebiasaan nya.

Atau memang Marvel berubah dengan sendirinya, karena memang sejak dulu Marvel tak bisa menerima Luna. T-tapi mana mungkin? Luna adalah adiknya, sedangkan Ira, Ira hanyalah orang yang Marvel kenal dalam beberapa hari.

Luna menduduki sebuah bangku gantung, sembari memandangi pemandangan indah lewat balkon kamarnya. Pena yang entah sejak kapan ada di genggaman tangan Luna kini mulai menari di atas sebuah kertas dengan beberapa garis yang terdapat di dalamnya.

Karena sangat sulit untuk menghubungi ibunya, Luna memutuskan untuk menulis. Berharap suatu saat ibunya akan membaca dan memberi jawaban atas tanya yang ia tulis dengan tinta.

Ibu anak mu telah dewasa, ia telah tau rasanya luka tanpa darah, rindu tanpa balas, cinta tanpa tapi, dan salah tanpa sebab.

Ibu, cinta yang baik itu seperti apa?  apa laki-laki  yang datang dengan bergelimang harta yang membuat ibu jatuh cinta, atau laki-laki yang datang dengan rasa tulus dan kesungguhan yang tinggi yang akan ibu pilih?

Dua-duanya mengiurkan ya bu, tapi bagaimana jika laki-laki itu datang membawa dendam, dan merekayasa semuanya seolah ia sedang merasakan cinta pandangan pertama?

Seseorang terjebak dalam hubungan seperti itu bu, namun tokoh figuran yang berlalu lalang lah yang akan di serang. Apa yang harus tokoh itu lakukan bu? sedangkan orang yang telah terjebak itu adalah orang yang penting dalam hidupnya.

Berlari, sembunyi, atau menyerahkan diri?

Luna menutup buku bersampul putih itu cepat, meletakan buku yang akan di penuhi oleh kata dalam beberapa hari ke depan. Karena menulis, Luna jadi mengerti sesuatu yang sebelumnya tak ia ketahui.

Bahwa semua pertanyaan tak perlu langsung mendapat jawab, karena sembari menanti, kau akan menemukan jawaban untuk diri mu sendiri.

Jawaban yang mungkin membuat mu mengerti dan memahami diri mu sendiri di saat semua orang tak ada yang perduli, dan tak lagi berada di sisi mu.




























Assalammualaikum, hai semuanya!
Jangan lupa vote, komen, dan share ya.

See u next part♡

Luka Lara Luna || END (Tahap Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang