Semuanya berjalan lancar, juga sangat baik. Hingga tibalah saat malam itu tiba, malam yang tak pernah Luna kira akan berbeda dari malam-malam lainnya.Malam di mana Luna membenci bintang yang menjadi saksi bisu, dan merutuki bulan yang terus berkilau saat ia sendu.
Kala itu, sesudah makan malam Gara mengajak Luna ke kamarnya, untuk melihat beberapa lukisan yang Gara selesaikan selama di vila.
"Selesai!" seru Gara semangat sembari memperlihatkan kanvasnya kepada Luna.
Saat Luna sedang sibuk mengamati beberapa lukisan Gara, Gara malah melukis Luna yang tengah melihat-lihat hasil lukisannya. Di dalam lukisan itu ada Luna serta Gara sendiri, yang ia buat sedang melukis. Bisa dikatakan melukis di dalam lukisan.
"Wah bagus!" puji Luna memperhatikan lukisan yang baru jadi beberapa waktu lalu.
"Suka?" tanya Gala memperhatikan wajah kagum Luna.
"Selalu, Luna selalu suka ngeliat lukisan-lukisannya Kak Gaga. Selain karena bagus, juga karena selalu ada Luna di dalamnya," jelas Luna menampilkan senyuman khasnya.
"Buat kamu," sambung Gara sembari menyerahkan lukisan yang baru saja ia selesaikan kepada adik perempuan nya.
"Makasih Kak Gagaa. Rambut Luna panjang juga ya di sini," ucap Luna masih sibuk mengamati lukisan Gara.
"Iya, sengaja Kakak buat kayak begitu, soalnya rambut Luna bagus. Biarin panjang aja ya, jangan di potong. Sayang," terang Gara di angguki Luna.
Luna masih sibuk memperhatikan lukisan yang baru saja di berikan kepadanya itu, sementara Gara ia selalu senang memperhatikan Luna dalam diam.
"Rana?" beo Luna membaca tulisan di balik kanvas lukisan Gara, dengan sedikit menunduk.
Baru saja Luna hendak meneruskan kalimatnya untuk bertanya, namun cairan berwarna merah itu tanpa izin terjun mengotori lukisan yang berada dalam genggaman Luna.
Luna spontan menutup hidungnya, sedangkan Gara. Ia langsung mengambil beberapa lembar tissue dan di berikan nya kepada Luna.
Luna menerima benda tipis itu untuk menampung darah yang mengalir lewat lobang hidung nya. "Luna kamu kenapa?" tanya Gara dengan nada panik.
"Ngak apa-apa Kak, ini bentar lagi pasti berhenti kok. Kak Gaga tenang aja," balas Luna.
"Bukannya berhenti, darah nya malah makin banyak. Kamu udah pernah mimisan kayak begini sebelumnya?" tanya Gara di angguki Luna dengan ragu.
"Kenapa kamu ngak bilang ke Kak Gaga, Luna?" tandas Gara terdengar frustasi.
"Karna ini bukan masalah yang serius, Luna cuma mimisan biasa kok kak," jawab Luna berusaha menyakinkan Gara.
"Kamu ngak boleh sepele sama apapun yang menyangkut kesehatan kamu Luna, udalah ayo kita pergi sekarang," sela Gara menarik lengan Luna perlahan, dan mulai menuntun langkah adiknya itu dengan berjalan tergesa-gesa.
Luna terus mengatakan bahwa ia tak apa-apa, namun Gara tetap teguh dengan pendiriannya. Gara hendak mengendari mobil miliknya, namun langkahnya terhenti saat teringat kalau ia lupa mengambil kunci yang sebelumnya Gara titipkan kepada Pak Fahri.
Tak mau buang-buang waktu, dan menambah kepanikan orang lain. Gara berinisiatif untuk jalan sedikit lalu menaiki taksi untuk mengantarkan Luna ke rumah sakit yang berada di sekitar.
Jalanan sekitaran vila lumayan gelap, hanya ada beberapa lampu jalan yang cahayanya mulai redup lah yang kini menjadi pencahayaan Gara dan Luna.
"Kak besok aja yuk kita perginya, malam semakin larut kak," ucap Luna perlahan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Luka Lara Luna || END (Tahap Revisi)
Teen FictionSemuanya terjadi begitu saja. Entah apa yang terjadi sebelumnya, hingga kini aku berakhir seperti ini. Tatapan yang ia lemparkan, perilaku yang ia tunjukkan, dan kata-kata yang ia lontarkan semuanya terjadi atas dasar kebencian terhadapku. Segala ca...