Luna langsung diantarkan ke kediamannya, untuk segera dimakamkan. Beberapa kerabat serta keluarga dekat sudah mulai berdatangan, membantu segala sesuatu yang dapat dibantu.
Dengan mata yang berkaca-kaca Ranty menyiramkan air dari kepala sampai ke ujung kaki. Ranty dibuat teringat saat ia melawani Luna berbicara setelah pulih dari koma. Kala itu, dengan tiba-tiba Luna mengatakan ia rindu dimandikan oleh Ranty, seperti saat kecil.
Nak, Mama bisa memandikan kamu kapan pun kamu mau. Tapi Mama, tak pernah bisa memandikan kamu dalam kondisi tak bernyawa seperti sekarang. Mama benar-benar tak sanggup Nak.
Ranty menangis, tak sanggup ia meneruskan aktivitasnya. Beberapa orang yang juga sedang membantu proses memandikan Luna dengan sigap menggantikan Ranty, dan meminta untuk Ranty mengistirahatkan diri.
Setelah dimandikan, dan dikafani jenazah Luna diletakan di atas kasur yang sengaja di sediakan ditengah-tengah. Ranty benar-benar tak sanggup melihat anaknya yang dibungkus kain kafan, Ranty tak pernah menayangka bahwa akan secepar ini Luna meninggalkannya.
Wong berusaha menenangkan Ranty, walau tak dapat dipungkiri kalau ia pun ikut merasakan kehilangan atas kepergian putri satu-satunya.
Marvel menutup tubuh yang terbujur kaku itu dengan kain batik panjang, dan dibagikan wajahnya ditutup dengan kain putih transparan. Sangat berat untuk Marvel menurut wajah Luna, di kecupnya dahi Luna, memberi jeda cukup lama, menahan kuat-kuat air matanya. Lalu ditutup Marvel wajah adiknya dengan perlahan.
Dahulu, Marvel menarik selimut hinga sebatas leher Luna. Namun sekarang ia menarik kain itu sampai ke ujung kepala adiknya.
Dahulu juga setelah tertidur Luna akan bangun di keesokan hari, tetapi kini Luna tertidur dan tak akan bangun-bangun lagi.
Tak bisa ditafsirkan seberapa besar rasa bersalah Marvel kepada Luna. Ia bahkan belum sempat menjadi sosok yang selalu di idam-idamkan oleh Luna, Marvel belum sempat melakukan apapun untuk menebus kesalahannya. Tetapi Luna malah pergi, jauh, jauh sekali, Marvel tak kan mungkin sampai ketempatnya.
Seorang perempuan seumuran Luna datang, dengan langkah yang tertatih-tatih, dan tak melepaskan pandangannya pada tubuh yang ditutupi kain.
Ia terduduk tepat di dekat tubuh itu, mulai meneteskan air mata saat ia melihat secara langsung bahwa sahabatnya benar-benar telah pergi meninggalkan dirinya.
"Waktu Yura pergi, kamu janji untuk sehat dan kuat terus. Tapi Tuhan berkehendak lain ya Luna, Yura minta maaf karena ngak ada disaat-saat sulit nya kamu," monolog Yura terus menangisi Luna.
Dion yang tadi datang bersama Yura mulai mengusap-usap bahu Yura, menguatkan kekasihnya yang tengah merasa kehilangan sosok sahabat.
"Udah Yura, nanti Luna ikutan sedih liat kamu kayak begini," ujar Dion.
"Kemarin aku telepon sama Luna. Dia nanyain kapan aku pulang ke Indonesia, kangen katanya. Kubilang kalau sempat dan ngak ada halangan aku bakal datang ke Indonesia, karena emang waktu iru ada urusan jadi aku ngak bisa pulang. Sekarang, giliran aku pulang Luna malah berpulang hiks." terang Yura di sela-sela tangisnya.
Dion tak menjawab, di peluknya perempuan yang amat ia rindui itu guna mengurangi rasa sedih yang dirasakannya.
Yura mengusap kasar air matanya. "Kalau aku boleh aku bicara kepada Tuhan yang menciptakan Luna, aku mau bilang terima kasih, karena udah menciptakan manusia sebaik Luna," tutur Yura dalam pelukan Dion.
KAMU SEDANG MEMBACA
Luka Lara Luna || END (Tahap Revisi)
Teen FictionSemuanya terjadi begitu saja. Entah apa yang terjadi sebelumnya, hingga kini aku berakhir seperti ini. Tatapan yang ia lemparkan, perilaku yang ia tunjukkan, dan kata-kata yang ia lontarkan semuanya terjadi atas dasar kebencian terhadapku. Segala ca...