Luna memperhatikan sekitarannya, entah sudah berapa kali ia menyuarakan kalimat kagum atas keindahan alam sekitar villa yang di tempati olehnya.Tempat yang pertama kali Luna datangi adalah sebuah pantai, yang dahulu di datanginya oleh Sagara.
Mengambil beberapa foto lewat kameranya. Tak hanya foto ia juga mengabadikan momen tersebut dengan membuat sebuah video.
Tak banyak bicara, Luna hanya meletakkan kameranya lalu berjalan menjauh, mendekati bibir pantai yang diterjang ombak.
Berputar perlahan memperlihatkan dress putih selutut yang ia kenakan. Tak lupa dengan senyuman yang terus terpampang di wajah cantiknya.
Ombak terus menerjang, seolah ia pun tak senang atas kepalsuan baru yang Luna ciptakan lewat kameranya.
Setelah puas mengagumi sekitarnya, Luna kembali melanjutkan langkah untuk mendatangi tempat-tempat indah lain, yang dahulu juga sempat ia kunjungi bersama almarhum Sagara.
Sebuah tanah lapang yang dahulu di penuhi rerumputan panjang berwarna kekuningan itu kini sudah menjadi tanah yang gundul. Namun tempat sederhana itu masih bisa membuat Luna mengenang saat Luna datang bersama Almarhum Sagara.
Mengambil beberapa foto lalu terus melanjutkan langkah, hingga berhenti ia tepat di sebuah jembatan yang menjadi jalan menuju sebuah danau.
Luna menyusuri jembatan itu, sampai ke akhir yang membawanya ke tengah-tengah tempat yang terasa sangat sejuk. Di dudukinya ujung jembatan tersebut, menenggelamkan kedua telapak kaki.
Kemudian menatap lurus kedepan, dengan pikiran yang kosong. Itulah tujuan Luna datang, ia ingin meninggalkan segala resah dan isi pikirannya.
Luna menginginkan sebuah ketengan yang ia dapatkan dengan sendirian, meski luka yang di dapatkan nya karena kesepian. Luna kesepian semenjak Sagara berpulang, dan kedua orang tuanya yang tak juga pulang-pulang.
Sementara Marvel? orang yang ia kira bisa dia harapkan ternyata tak menginginkan Luna.
Luna menundukkan, memainkan kakinya. Tak ada yang mau ia salahkan, karena memang semua adalah salahnya.
Luna menjauh, ke tempat ini. Meninggalkan segala kewajiban yang seharusnya rutin ia jalani sebagai pengidap leukemia.
Mengikhlaskan diri jika memang ia harus pergi.
* ° * ° * ° *
"Halo, Alvian" sapa orang di sebrang sana dengan nada khawatir.
"Ya, Halo Kak Isqi. Ada apa ya Kak?" tanya Alvian.
Terjadi jeda di antara dua manusia yang sama-sama sedang menempelkan benda pipih di daun telinga.
"Luna baik-baik aja kan, Kak?" tanya Alvian lagi, karena tak kunjung mendapatkan jawaban.
"Alvian," ucap Isqi.
"Luna kenapa Kak?" tanya Alvian lagi.
"Luna, dia, kabur dari rumah sakit," ujar Isqi terdengar frustasi.
Alvian yang mendengar perkataan Isqi refleks mematikan sambungan telepon. Mencoba berpikir jernih, kemana sebenarnya perempuan yang amat ia sayangi itu pergi.
"Kamu kenapa?" tanya Asvika, yang memperhatikan gerak-gerik Alvian.
"Luna Kak, Luna kabur dari rumah sakit," jawab Alvian membuat Asvika sama terkejutnya seperti ia barusan.
"Astgfirullah, Luna. Coba kamu cari kerumahnya, siapa tau dia pulang kerumah," saran Asvika.
"Iya Kak, Alvian izin pergi dulu ya. Assalammualaikum," pamit Alvian.
KAMU SEDANG MEMBACA
Luka Lara Luna || END (Tahap Revisi)
Teen FictionSemuanya terjadi begitu saja. Entah apa yang terjadi sebelumnya, hingga kini aku berakhir seperti ini. Tatapan yang ia lemparkan, perilaku yang ia tunjukkan, dan kata-kata yang ia lontarkan semuanya terjadi atas dasar kebencian terhadapku. Segala ca...