Di bukanya perlahan pintu rumah yang sudah lama kali di tinggalkan oleh sang pemiliknya. Langkahnya berlanjut menelusuri tempat-tempat di dalam rumah tersebut.
Bayang-bayang tentang orang yang telah hilang itu kembali menghantui, yang tanpa di sadari kembali membuat air matanya menetes.
Langkahnya berhenti di tempat tertinggi rumah tersebut, di duduknya raga yang mulai rapuh itu di sebuah kursi yang dahulu di dudukinya bersama sang Kakak.
Luna tertawa hambar, tatapannya kosong kedepan. Ia tak pernah tau bahwa ternyata akan sesulit ini jalan hidupnya, ia terlalu mudah terluka untuk terus menerima rasa sakit.
Sungguh ia tak pernah mengerti, mengapa Marvel bisa setega ini. Apa hadirnya begitu tak berarti? atau memang Marvel tak pernah menganggap nya memiliki hati?
Kepalanya di penuhi banyak pertanyaan. Harus seperti apa, bagaimana, dan harus dengan cara apalagi ia bertahan di bawah tekanan orang yang sangat ia sayangi.
Luna menangis, lagi. Sampai bahunya bergetar akibat terlalu larut dalam malam dan kesedihan yang saat ini ia rasakan. Bukan benci, Luna hanya kecewa.
Karena Marvel yang selama ini selalu ia sanjung-sanjug, malah menyandung langkahnya. Membuat Luna bingung, baiknya ia melangkah menjauh atau semakin mendekat.
Pikiran-pikiran buruk tiba-tiba terlintas, saat ia melihat ke bawah. Namun dengan cepat pikiran tersebut sirna. Karena bayang-bayang Gaga langsung menyadarkan Luna.
Pikiran-pikiran untuk loncat dari ketinggian, atau bahkan bunuh diri dengan cara yang mudah itu sudah sedari dulu terlintas. Namun bayangan Gaga selalu mengagalkan kelangsungan hal gila itu.
Jika memang maafnya tak pernah bisa di terima oleh Marvel, maka Luna harus tetap hidup untuk sembuh. Ia sudah pernah berjanji, sebelum Gaga pergi.
Gaga meminta Luna untuk terus melakukan pengobatan, sampai ia sembuh secara keseluruhan.
Terdengar mustahil, namun Luna akan mencoba sebisanya. Ia akan terus hidup untuk pulih, memenuhi salah satu dari beberapa janji yang dahulu sering kali ia ucapkan.
Karena sepertinya, janji untuk mendapatkan maaf dari Marvel lebih sulit dari yang ia bayangkan.
Kini, malam ini ia memutuskan untuk bermalam di rooftop rumahnya, ah lebih tepatnya rumahnya bersama dengan Gaga.
Sepanjang malam ia terjaga, menghiraukan rasa sakit yang mulai menyerang kepala, dan mengacuhkan hembusan angin yang menyapa kulit juga helaian rambut panjangnya.
Luna pulang, pulang kerumahnya. Rumah bersama Gaga, yang tak lagi bersama Luna.
~ ~
Sudah dari beberapa jam lalu Luna berada di sebelah gundukan tanah yang mulai di tumbuhi oleh rerumputan hijau. Setelah mengudarakan banyak sekali doa-doa, namun tak sedikitpun terlintas niat untuk pergi dari sana.
"Luna ngak sekuat perkiraan Kak Gaga," lirihnya lemah. Dengan jari-jari yang saling meremat, ia melanjutkan.
"Kak Marvel jauh lebih kuat. Pendiriannya jauh lebih teguh di banding perkiraan kita dulu. Luna kalah Kak, maafin Luna ya," lanjutnya sembari terisak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Luka Lara Luna || END (Tahap Revisi)
Fiksi RemajaSemuanya terjadi begitu saja. Entah apa yang terjadi sebelumnya, hingga kini aku berakhir seperti ini. Tatapan yang ia lemparkan, perilaku yang ia tunjukkan, dan kata-kata yang ia lontarkan semuanya terjadi atas dasar kebencian terhadapku. Segala ca...