. E P I L O G .

1K 34 37
                                    


Tiga hari berlalu selepas kepergian Luna. Pihak keluarga yang ditinggalkan jelas masih terus merasa kehilangan tanpa terkecuali Ranty. Saat ini perempuan yang sudah berkepala empat itu memasuki kamar Luna.

Aroma strawberry langsung menyapa indera penciumannya, seolah sosok sang empunya kamar masih berada di tempat yang sama dengannya.

Beberapa lukisan yang dibuat oleh Luna terdapat di dinding, bingkai-bingkai foto pun turut menghiasi kamar tidur tersebut.

Di duduki Ranty tepi tempat tidur yang tak akan pernah lagi tersentuh sang empunya, dan saat menarik selimut, pandangannya menatap fokus pada noda merah yang terdapat di selimut tebal itu.

Sangat pekat, Ranty tau itu bukan noda biasa, melainkan darah. Dan Ranty juga sangat yakin bahwa itu bukanlah darah menstruasi, karena letaknya yang berada di bagian atas selimut.

Dalam diam, Ranty berfikir sepertinya memang ada banyak sekali kejanggalan yang tak pernah ia ketahui soal anak perempuan itu. Sama halnya seperti tadi, saat ia melihat rekaman cctv rumahnya sedari awal ia pergi meninggalkan rumah sampai kembali kerumah.

Beberapa kali, tampak Luna yang sepertinya sembunyi-sembunyi mengonsumsi sejumlah obat-obatan, dan ia juga cukup rutin mengonsumsi berbagai pil itu, seolah-olah memang sudah seharusnya begitu.

Sebagai Ibu, Ranty tak pernah tau bahwa Luna pernah mempunyai penyakit serius atau apapun itu. Ya walau memang sedari dilahirkan Luna itu memiliki daya tahan tubuh yang lemah.

Ranty bangkit dari duduknya, melihat-lihat isi lemari pakaian Luna. Lalu langkahnya mendekat ke arah meja belajar yang terletak tak jauh dari tempat tidur, di dalam laci meja itu terdapat sebuah berwarna putih.

Setiap kata dalam buku tersebut membuat ulu hati Ranty ikut sakit, seolah-olah ia turut merasakan apa yang Luna rasa saat menuang kata di atas kertas.

Ranty yakin hampir setiap isi dari buku itu dibuat untuk di baca olehnya, karena tak jarang tersirat kalimat Ibu di beberapa garis buku.

Tulisan terakhir di buku tersebut membuat Ranty mati-matian menahan air mata yang tak pernah berhasil ia tahan. Seakan Luna mengetahui kalau hidupnya tak lama lagi.

Mama maaf, Luna tak bisa bertahan lebih lama. Ayah maaf, jika Luna begitu lama menjadi beban di rumah.
Kakak maaf, karena Luna bahagia mu jadi tertunda.

Tetapi tenang saja, karena waktunya tak akan lama. Tak kan jadi masalah kan kalau Luna tak lagi kembali kerumah?

Ada sesuatu yang membuat Luna harus menunggu waktu, saat yang tepat untuk pulang dan tak lagi mengganggu.

Meski sakit yang harus lebih dulu menyapaku, hal itu takkan jadi masalah. Yang terpenting akhirnya bahagia.

Ranty menutup buku, dengan tangis yang tersedu-sedu. Hatinya masih tak rela bahwa anak gadisnya sudah berpulang lebih dulu dibandingkan ia yang jauh lebih tua.

Ranty meletakkan buku harian Luna kembali kedalam laci meja belajar. Kembali di periksanya tempat-tempat lain.

Meja kecil yang berada di sebelah ranjang menjadi benda selanjutnya yang ingin Ranty ketahui apa isinya, di laci pertama meja itu terdapat banyak sekali map-map yang didalamnya terdapat banyak berkas-berkas.

Luka Lara Luna || END (Tahap Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang