Di lirik Luna sarapannya tak berselera. Seseorang yang baru saja turun ke lantai dasar rumah, sukses menarik perhatian Luna penuh ke arahnya.Memperhatikan gerak-gerik orang tersebut yang tampak akan menghampirinya, Luna harap apapun itu, semoga hal baik.
Ah tapi sepertinya memang beberapa hari belakangan, tebakan Luna selalu salah, kan?
"Ayo sarapan bare--"
"Siapa yang ngizinin lo untuk bawa temen laki-laki ke rumah, hah?!" tandas Marvel, mendahului ucapan Luna.
Walau bukan kali pertama ini sahaja Marvel berujar dengan nada tinggi dengannya. Tetapi tetap saja hati dan raga itu, tak terbiasa.
Gelagat ketakutan untuk mendapat reaksi tak terduga selanjutnya, sukses membuat Luna terbata dalam berkata-kata. Karena diam di saat itu, bukanlah hal baik yang bisa ia lakukan.
"N-ngak ada. Luna lupa kalau harus izin dulu, untuk itu. Maaf ya Kak," jawab Luna seraya menunduk kan kepala.
"Gue muak," balas Marvel seolah sengaja menggantung kan kalimatnya.
Perlahan di balas Luna tatapan tajam yang Marvel lemparkan kepadanya, meski nyeri hati menyerang, dan mata memanas akan hal itu.
"Gue muak sama kalimat maaf, yang keluar dari mulut lo."
Sambung Marvel, dan tanpa mendengarkan jawaban Luna atas perkataannya. Laki-laki yang jelas jauh lebih tinggi dari adiknya itu lebih dulu menarik lengan Luna hingga berdiri.
Bukannya melanjutkan perkataannya yang tertunda, mulut itu malah mengeluarkan ringis kesakitan. Cekalan di tangan yang tak bisa dikatakan pelan itu membuat Luna berulang kali meringis.
Seolah tuli, dan memilih tak perduli. Marvel terus melanjutkan, di bawanya Luna menuju kamar adik perempuan nya itu.
Setelah sampai Marvel mendorong Luna masuk ke kamarnya. Untung saja Luna bisa menahan tubuhnya, karena jika lengah, bisa-bisa tubuhnya bersentuhan dengan lantai.
"Lo gue hukum karena udah sembarangan bawa orang masuk ke rumah, bahkan sampai ikut campur urusan gue. Jangan berharap bisa keluar sebelum gue balik."
Tutur Marvel, kemudian mengunci pintu dari luar. Sementara Luna, masih diam di tempatnya, terdiam seribu bahasa. Mencerna kembali di mana letak salahnya.
Ah iya, bisa-bisanya dia lupa. Tak hanya apa yang ia lakukan saja, namun hadirnya di bumi sudah menjadi kesalahan terbesar bagi Marvel.
* ° * ° * ° *
Masih tepat di tempat, seperti yang dikatakan oleh Marvel. Luna benar-benar tak bisa keluar dari kamarnya tersebut.
Entah lupa atau memang tak pernah terpikirkan oleh Marvel, entah ia perduli ataupun tak lagi. Tapi Luna adalah makhluk hidup yang harus mengonsumsi makanan, untuk terus bertahan hidup.
Pagi tadi Luna sama sekali tak berkesempatan untuk menyentuh sarapannya, karena saat Marvel keluar dari kamarnya. Kakak laki-lakinya itu lagi-lagi tersulut emosi dan berakhir mengunci Luna di dalam kamarnya sendiri.
Sementara waktu terus berjalan, tak lama malam pun datang. Luna dengan tubuh yang terasa begitu lemas hanya mampu terduduk lesu di atas ranjangnya.
Untung saja Luna memiliki beberapa stok cemilan didalam kamarnya. Beberapa lembar roti pun Luna makan, agar setelahnya ia bisa meminum obat yang ia konsumsi setiap hari.
Memperhatikan pantulan wajah lewat cermin adalah hal yang selalu Luna sukai, dulu. Sekarang, setiap kali melihat pantulan wajahnya Luna selalu di gentayangi rasa bersalah.
Walau sudah bisa dikatakan pulih, namun tetap saja, jauh didalam dirinya rasa bersalah akan sebuah tragedi yang membuat Sagara kehilangan nyawanya itu mampu membuat dadanya terasa nyeri.
Ditambah lagi dengan sifat Marvel yang kembali seperti dahulu. Luna benar-benar tak pernah siap untuk itu, ia ingin berlari jauh. Namun lagi-lagi, perhatian kecil yang di dasari oleh rasa kasian dari Marvel seakan menarik tubuh Luna untuk menetap di tempatnya.
Terdengar tawa miris dari mulut yang biasa menyuarakan tangis, rasanya lelah sekali ia meringis setiap merasakan sakit. Tapi tertawa saat menerima sebuah luka pun adalah hal gila.
Di sentuh Luna perlahan daerah pelipisnya yang masih lebam akibat kejadian kemarin. Selama hidupnya, Luna memang sering kali terluka akan perkataan-perkataan Marvel yang dilayangkan pada ia atas dasar kebencian.
Namun selama itu pula hanya sebatas ucapan saja. Tapi beberapa hari belakangan Marvel juga mulai membuat fisiknya terluka.
Tapi bodohnya Luna mewajari, ia selalu meyakinkan diri bahwa apa yang terjadi kepadanya sebuah ketidak sengajaan Marvel saja. Karena kadang Marvel melakukan kontak fisik sesaat setelah ia mengonsumsi minuman keras, atau sedang di landa emosi sesaat saja.
Seperti lebam yang ia dapatkan baru-baru ini, disebabkan juga karena ketidak senagajaan.
Walau sulit, namun Luna masih terus yakin bahwa Marvel tak akan mungkin melakukan hal-hal yang berbau kekerasan fisik padanya jika dalam keadaan sadar ataupun di niatkan langsung.
Meski tak selamanya prasangka baik di balas baik jua, seolah apa yang telah menimpanya bukanlah masalah. Menerima segala luka-luka, menjalani hari yang penuh lika-liku, dan terus menyuguhkan senyuman manis. Seolah menyuarakan kepada seisi dunia bahwa ia tak apa-apa.
Luna mencoba bangkit dari duduknya, menyudahi acara bertatapan dengan dirinya sendiri.
Melihat langit malam yang di penuhi bintang. Di lirik Luna gerbang rumahnya yang tertutup rapat. Pikirnya kembali melayang-layang.
Jelas tentang Marvel. Apa yang di lakukan nya sampai belum pulang, sementara sebentar lagi memasuki waktu tengah malam. Apa yang ia makan sebelum pergi? dan apa ia benar-benar masuk sekolah hari ini?
Memikirkan hal-hal yang seharusnya di lakukan Marvel kepada Luna, bukannya sebaliknya. Tapi lagi-lagi Luna mewajari, dengan alasan-alasan yang terkadang pun ia paksakan untuk diterima akal.
Angin berhembus kencang, dan tak la setelahnya hujan datang, dengan cepat membasahi sebagain bumi.
Luna refleks memundurkan langkah kakinya, dan dengan cepat memasuki kembali kamar sembari mengunci pintu dan tak lupa menarik tirai untuk menutupi pemandangan luar.
Badannya merosot ke bawah, debaran jantung pun ikut tak karuan, sorot mata Luna berlarian, serasi dengan pikirannya yang berkelana terlalu jauh, sampai ke kenangan yang lalu.
Luna menutup kedua telinganya kuat-kuat, seolah-olah ada suara berisik yang ditangkap oleh indera pendengarannya sehingga membuat kepalanya ikut sakit.
"Aaggr ... " erang Luna merasakan sakit di kepalanya.
Tangan Luna beralih, meremat helaian rambutnya. Berharap agar hal tersebut dapat mengurangi rasa sakit yang di rasakan nya. Sembari menggeleng-gelengkan kepalanya Luna berusaha berdiri.
'Enggak, ngak boleh kambuh lagi. Butuh waktu berbulan-bulan untuk sembuh, udah banyak orang yang berkorban. Luna ngak boleh kambuh lagi.' Luna membatin.
Dengan tertatih-tatih Luna berjalan menuju nakas, memeriksa satu laci tempat di mana ia menyimpan beberapa obat-obatan yang di konsumsi.
Untung saja masih ada, walau tinggal beberapa. Luna segera menelan dua buah pil penenang tersebut, lalu setelahnya meneguk segelas air putih.
Mencoba mengatur nafasnya, menutup kedua bola mata dan mencoba menghilangkan bunyi-bunyian menganggu.
Berhasil, suara-suara itu hilang. Namun mengundang air mata untuk datang, kilasan peristiwa kala itu tercetak jelas di kepala Luna.
Jika begini terus, Luna bisa gila. Tapi sepertinya takkan jadi masalah, karena di mata Marvel, Luna bukanlah orang waras.
Assalammualaikum, hai!
Jangan lupa vote, komen & share!
Tolong kasih tau di komen, kalau ada typo-typo nackal ya! xixixi><See u next part♡
KAMU SEDANG MEMBACA
Luka Lara Luna || END (Tahap Revisi)
Teen FictionSemuanya terjadi begitu saja. Entah apa yang terjadi sebelumnya, hingga kini aku berakhir seperti ini. Tatapan yang ia lemparkan, perilaku yang ia tunjukkan, dan kata-kata yang ia lontarkan semuanya terjadi atas dasar kebencian terhadapku. Segala ca...