53

242 21 0
                                    


Bau obat-obatan menyapa indera penciumannya, kedua kelopak mata yang semula tertutup rapat itu perlahan-lahan terbuka.

Melihat ruangan yang didominasi oleh warnah putih, menyejukkan penglihatan. Tapi tidak dengan perasaannya yang sedari kemarin malam tak karuan.

Seluruh tubuhnya terasa sakit, tapi lubuk hatinya jauh lebih sakit. Luka-luka di beberapa bagian tubuh Luna seolah tak terasa apa-apa, karena bagian dalam tubuh itu sudah terluka sedari lama.

Lagi-lagi air matanya menetes, membasahi pipi yang sudah lelah basah namun tak mungkin juga ia bisa bertahan untuk tetap kering.

Menatap telapak kakinya yang di balut perban, pergelangan tangan yang di obati. Entah untuk apa semuanya melakukan hal ini, apa mereka tak tahu, Marvel ingin ia mati?

Luna hendak melepaskan infus yang terdapat di punggung tangannya, namun masuknya seorang pria kedalam ruangan tersebut menghentikan hal itu.

Ia berjalan, mendekati tubuh perempuan yang tampak sangat berbeda saat kali terakhir mereka bertemu. Tubuh itu terlihat lebih kurus, ada apa sebenarnya?

Di duduki Isqi kursi yang terletak tak jauh dari ranjang Luna, menatap kedua mata sayu itu tak mengerti. Ia tak pernahkah mengetahui apa yang sedang di sembunyikan perempuan ini.

"Kamu kenapa Luna? ada apa di rumah, sampai kamu bisa seperti ini?" ucap Isqi.

Luna enggan menjawab, pikirannya masih berkelana entah kemana-mana.

"Kamu punya banyak kanvas Luna, tapi kenapa kamu malah berkarya di kulit sekitaran nadi?" sambung Isqi sembari memperhatikan pergelangan tangan yang penuh dengan luka sayatan.

Masih di posisi semula, Luna hanya diam dengan menatap kosong ke depan.

Gavin masuk kedalam rungan yang sunyi itu, mencoba mengajak Luna berbicara. Menanyakan perempuan itu perihal kemarin malam.

"Kamu bisa cerita kalau ada sesuatu yang menggangu pikiranmu," ujar Gavin mencipta pertanyaan.

"Luna, capek." ucap Luna membuat kedua pria di dekatnya saling melemparkan pandangan.

Gavin mengangguk kepala, mengerti bahwa Luna butuh waktu tuk menjawab pertanyaan yang ia dan Isqi lontarkan.

Di usapnya surai lembut milik Luna, menatap perempuan yang sedari enggan membalas tatapan kedua dokter muda di dekatnya.

"Kita tau itu Luna, dan kita juga tau kalau kamu kuat. Buktinya kamu bisa bertahan sampai sekarang, kamu hebat, kamu kuat Luna,"

Senyuman yang baru saya terukir di wajah Gavin dengan cepat menghilang, tatkala ia melihat Luna malah menangis usai mendengar perkataannya.

Luna menggeleng-gelengkan kepalanya, menolak keras kata-kata yang sering kali keluar masuk lewat telinga.

Bagaimana pun juga Luna jauh lebih mengenal dirinya sendiri di banding siapapun, ia tak pernah merasa sekuat itu. Dan Luna juga tau, saat orang-orang menghadiahkan ia sebuah kata-kata indah, kata-kata itu hanyalah kebohongan semata.

"Luna ngak sekuat itu, hiks," lirih Luna sembari menepuk dadanya.

Setiap kali teringat peristiwa kemarin malam, dada Luna selalu sesak. Ia dibuat lupa bagaimana cara bernafas, karena pasokan udaranya telah di raup habis oleh fakta.

"Tenang Luna tenang," selah Isqi menahan pergerakan tangan Luna untuk kembali memukuli dadanya.

Perlahan pergerakannya berhenti, namun Luna masih tetap menangis. Sungguh sangat sakit hatinya, mengapa semesta begitu tega?

Luka Lara Luna || END (Tahap Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang