09

576 20 0
                                    

Dhiya menatap senja itu dengan sendu,mendengar suara ombak yang datang lalu pergi. Menghelas napas pelan dadanya sesak,dirinya butuh nafas.

"Sakit." ucapnya lirih.

"Aku gak sanggup,boleh gak aku nyerah?"

"Aku gak kuat."

Setitik air mata Dhiya keluar,Dhiya mereka dada kuat,hingga suara isakannya keluar. Suara yang selalu dirinya tahan setiap dirinya menangis akhirnya keluar.

"Aku gak sanggup Tuhan,Tolong."lirih Dhiya.

"Ini sungguh sakit."

"Aku tak sekuat itu Tuhan,ujian ini terlalu berat,a--aku gak bisa,jangan aku."

"Aku hanya ingin pulang,aku hanya butuh peluk Tuhan. Dimana tempat itu? Biarkan aku kesana. Disini gak ada."

Suara racau itu terus keluar dengan isakan,Dhiya benar-benar mengeluarkan semuanya. Dhiya memohon untuk pergi. Dunia ini terlalu jahat untuk dirinya yang sendiri.

"Tuhan,jika saja aku di berikan kesempatan sekali saja,aku akan menggunakan itu untuk tidak terlahir di dunia mu. Aku tidak sanggup berada di dunia yang kau ciptakan."

Dhiya menutup matanya,merasakan sakit yang luar biasa di dadanya. Tidak seorang pun tau dirinya.Semua sakit dan lukanya yang dirinya pendam sendiri.

Dengan perlahan Dhiya jalan menuju pantai dengan pikiran kosong,terus berjalan hilang merasakan tabrakan ombak tapi tak membuat berhenti hingga dirasa jauh Dhiya berbalik,melihat seseorang yang sedang menatapnya dan Dhiya langsung menjatuhkan dirinya menengelamkan dirinya bersama dengan lukanya.

***
Dhiya melihat seorang wanita cantik yang sedang menatapnya. "Bangun yaa mereka nungguin kamu."

Dhiya diam lalu mengelengkan kepalanya. "Disana sakit aku gak mau kesana."

"Itulah hidup selalu penuh dengan derita,hidup tak ada yang sempurna,kamu hanya perlu menikmati luka mu."

"Aku gak mau."balas Dhiya.

"Dhiya balik yaa? Hidup itu alurnya sudah di atur tapi itu bisa berubah dengan do'a mu. Jadi jangan perna berhenti berdoa'a ya? Kamu tau Dya? Senang dan sakit itu sudah sepaket,dan akan terus terikat. Jadi kalo kamu merasa hari ini kamu sakit percaya kalo besok kamu akan senang. Jadi jangan perna berpikir untuk mati ya? Disini itu sunyi dan sepi." Jelasnya.

"Tapi aku suka."

Perempuan itu tersenyum mengusap pelan rambut panjang Dya."Kamu gak akan suka,kamu lebih suka disana Dya. Balik yaaa?" ucap nya lalu menutup mata Dhiya.

Diagram dari mesin itu kembali bunyi menyatakan bahwa pasien kembali bernafas. Dokter dan suster disana kaget melihat itu.

"Selalu ada keajaiban bagi orang yang sudah berusaha dan berpasrah diri."
Dokter keluar melihat seseorang yang tak perna absen untuk melihat Dhiya.

"Pasien kembali bernafas,dan ini sebuah keajaiban." ucap dokter.

Pria itu diam mendengar,ada perasaan lega mendengar bahwa perempuan itu tetap hidup.

"Saya tau kamu begitu mencintainya,katakan saja kalo kamu mencintainya. Jangan biarkan dia pergi lagi,saya tau betapa sakitnya di tinggal pergi."

"Saya belum bisa,saya tidak ingin menambah lukanya."

"Kamu percaya kalo seseorang yang begitu di cintai adalah luka sekaligus obat?." ucap Dokter

"Dia bisa sembuh bersama seseorang yang dia miliki sekarang."balasnya

"Saya tidak tau seberapa besar luka yang kamu berikan padanya,tapi saya tau kamu sangay cinta dia."Dokter itu pergi setelah mengucapkan itu.

Laki-laki itu menatap Dhiya dengan berbagai alat medis yang berada di badanya. "Seberapa berat hidup hingga kamu memilih untuk mati Dya?"

Lelaki itu menatap keluar jendela melihat kendaraan yang lalu lalang, dan terus menghelas napas berat seakan ada batu besar yang menimpah dadanya sulit sekali untuk bernapas.

Lalu pandanganya pada perempuan cantik dan pucat itu, Sepertinya perempuan itu nya dengan tidurnya. Dia berjalan mendekati kasur itu mengelus pelan kening itu lalu turun ke pipi dan terakhir pada bibir mungil dan pucat itu.

"Lo betah banget disana,gak mau balik Dya?" tanyanya lirih

"Gw kangen banget. Ayo balik lagi." suaranya mulai bergetar.

Kakinya mendadak bergetar dengan keras lelaki itu bersimpuh di samping ranjang Dya. Suara isakanya mulai terdengar.

"Bangun Dya,g-gw gak bisa di tinggal kayak gini. Jangan kayak gini Dya." ucapnya lirih. Di gengam erat tangan itu hingga lelaki itu merasa tangan mungil bergerak.

Dengan cepat lelaki itu bangun melihat mata Dya yang terbuka sedikit. Dengan semangat dia memperhatikan Dya yang melihat sekeliling hingga akhirnya mata mereka bertemu.

"Dya."

"H-haus." dengan cepat lelaki itu mengambil air dan memberikan pada Dhiya.

Merasa seperti mimpi lelaki itu menampar pipi nya.

"Gw dimana?"

"Di rumah sakit."

"Rumah sakit? gw kenapa?"

"Lo mau bunuh diri dengan jalan ketengah laut." jelasnya.

"Putra?" panggil Dhiya.

"Iyaa"

Dhiya mengeluarkan air matanya menatap Alif. "Kenapa menangis?"

Alif mengelus rambut panjang itu dengan halus,memeluk agar perempuan itu tenang. "Udah jangan nangis,gw mau panggil dokter dulu."

Saat hendak pergi Dhiya memperat pelukan nya. "Gak usah."

"Dhiya lo baru sadar,gw panggil dokter dulu." jelas Alif.

Dhiya mendogakan kepalanya melihat Alif,di lihat seperti itu membuat Alif gemas. "Lo baru sadar,harus di periksa dulu Dya,gw cuman sebentar kok gak lama." jelasnya panjang lebar.

Dengan terpaksa Dhiya melepas pelukan itu,melihat Alif keluar memanggil dokter dan tak selang berapa lama lelaki itu kembali bersama dokter dan suster.

"Saya tau kamu punya,tapi bukan berarti dengan mengakhir hidup itu jalan yang kamu pilih." jelas dokter.

"Mati bukan pilihan yang tepat untuk mengakhir hidup. Tetapi jalani hidup itu,nikmati luka mu sampai sembuh lalu kamu akan merasakan indahnya perjalananmu." lanjutnya.

"Tolong lebih di perhatikan lagi makannya,mungkin jika sudah lebih baik besok atau lusa Dhiya sudah boleh balik." ucap Dokter itu lalu pergi di ikut oleh suster.

"Terimakasih dokter." setelah menutup pintu Alif melihat Dhiya yang tampak pucat.

"Harus banget lo mati?" tanya Alif.

"Ha?"

"Kenapa lo milih untuk mati Dya?

"Hidup gw udah berantakan Putra."

"Tapi mati bukan jalannya Putri."

"Lo gak tau Put,g-gw udah rusak mental dan fisik gw hancur,Hancur banget. Kalo lpo perhatikan badan gw mungkin lo sadar banyak memar Putra." jelas Dya

"Jadikan gw sebagai tujuan terakhir lo hidup."

"Gw udah terlalu banyak berharap pada orang,dan yang paling menyakitkan adalah berharap pada manusia." balas Dhiya.

"Dan bisa gw pastikan kalo harapan lo ini tidak sia-sia."

***

Terimakasih untuk yang sudah membaca dan memberikan vote maaf jika cerita ini masih banyak yang typo.

WHERE MY HOME? (REVISI) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang