18 - Sebuah Peringatan

8.5K 524 18
                                    

Seperti hari-hari sebelumnya ketika Surya memilih tidur diluar, ia akan pulang sebelum jam lima pagi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Seperti hari-hari sebelumnya ketika Surya memilih tidur diluar, ia akan pulang sebelum jam lima pagi. Meninggalkan perempuan yang ia tiduri di ranjang hotel setelah mencuri ciuman. Beberapa dari mereka kadang memberikan ciuman selamat pagi, tapi tidak sedikit juga yang masih bergelung diselimut, sehingga tidak menyadari ketika Surya menciumnya lalu pergi begitu saja.

Karena bukankah begitu sejatinya manusia? Pergi saat apa yang ia inginkan sudah ada di tangan. Seperti Surya. Ketika perempuan-perempuan itu sudah membayar dengan harga mahal, Surya hanya perlu memberikan pelayanan yang memuaskan, lalu setelahnya pergi meninggalkan.

Karena bagi Surya. Perempuan yang ia tiduri hanyalah sebuah mainan. Tidak ada gunanya jika tidak memberi keuntungan. Mereka semua mesin ATM berjalan yang akan memberikan apapun yang Surya inginkan. Dan sebaliknya, Surya harus rela mengerahkan tenaga hanya untuk bercumbu dengan gadis murahan.

Tapi setidaknya itu lebih baik. Daripada Surya harus jadi gembel hanya karena tidak bisa memenuhi kebutuhan hidupnya.

Bullshit jika Surya mengatakan dia tidak menikmati segala kemewahan yang ia dapatkan. Terlalu munafik. Karena nyatanya, ia memang lebih memilih mengotori dirinya sendiri hanya untuk mendapatkan kemudahan. Ia rela jika harus lelah bersandiwara hanya untuk membuat namanya tetap baik pada masa mudanya.

Urusan dosa dan karma. Biarlah menjadi tanda tanya di masa depan. Itu urusannya. Sedangkan hari ini, Surya hanya ingin menikmati kebohongan.

Dan jika ada yang bertanya, bagaimana jika suatu saat nanti jati dirinya yang sebenarnya akan terbongkar, Surya hanya perlu tersenyum sambil mengatakan, "gak usah sok kaget. Karena setiap manusia emang selalu bertahan hidup dibalik topeng masing-masing." Sambil bertepuk tangan tinggi-tinggi. Merayakan hari besar itu.

Serta tidak lupa menghabisi orang yang mencoreng namanya.

***

Tangan Surya terangkat untuk mengayunkan ketukan. Mulutnya menguap dua kali. Dan pada ketukan ketiga, pintu terbuka lebar. Menampilkan Embun, dengan wajah khawatirnya.

"Kakak baru pulang?" Embun meneliti tubuh Surya saat melontarkan pertanyaan itu. Memastikan jika Surya benar baik-baik saja. Lalu ia menghela nafas lega, karena Surya pulang dalam keadaan utuh.

Kaki Embun melangkah ringan mengikuti langkah lebar milik Surya. Ia berhenti beberapa langkah didepan Surya ketika cowok itu duduk di sofa. "Aku khawatir sama kakak. Karena kakak gak pamit pas mau pergi, semalem."

Semalam, Surya memang pergi begitu saja. Tidak memberitahu bahwa dirinya tidak akan pulang. Dan karena hal itu mungkin Embun mengira jika Surya diculik atau semacamnya.

"Ngapain lo khawatir sama gue?" Pertanyaan itu terdengar datar di telinga Embun. Dan Embun tidak menyukai hal itu.

"Soalnya akhir-akhir ini kakak udah jarang keluar."

Ahh, benar juga. Semenjak Embun tinggal dirumahnya, Surya memang jadi lebih jarang keluar. Ia banyak menikmati perlakuan pembantunya itu.

Tapi kejadian kemarin itu membuat Surya ingin melenyapkan Embun. Karena itulah ia lebih memilih melampiaskan segala kekesalannya pada perempuan lain.

"Jangan ngambil peran terlalu banyak di hidup gue. Lo itu cuma sampah yang gue pungut dari selokan. Sewaktu-waktu gue bisa aja buang lo semau gue. Dan cabut beasiswa lo di sekolah. Supaya hidup lo makin menderita karena udah gak punya siapa-siapa."

Embun mundur satu langkah. Sama sekali tidak menyangka bahwa Surya akan mengatakan hal sekejam itu.

"Jadi bersikap sewajarnya aja. Gak usah sok perduli sama gue."

Embun bahkan percaya jika Surya itu cowok baik-baik. Tapi kenapa justru Surya sendiri yang semakin hari semakin menunjukkan bahwa dirinya memanglah jauh dari kata baik.

"Aku sama sekali gak ada maksud apa-apa. Aku cuma khawatir sama keadaan kakak. Aku tahu perkataan aku yang kemarin udah bikin kakak kesel. Makanya aku khawatir."

Kali ini Surya yang dibuat tersentak. Baru menyadari sisi menakjubkan lainnya seorang Embun. Tangannya yang sedari tadi ia tautkan terlepas begitu saja.

"Aku gak maksud buat nyinggung perasaan kakak. Kita bahkan gak saling kenal. Aku itu cuma orang lain yang kebetulan tau sisi seorang Surya. Selain dari itu, aku gak tau siapa kakak. Aku gak tau apapun tentang kehidupan apalagi soal orang tua kakak. Aku tau aku salah, aku minta maaf. Aku gak maksud nyakitin kakak kemarin."

Lagi, Surya dibuat takjub. Perkataan Embun barusan benar-benar ia simak setiap katanya. Nada lembut dan rendah itu terdengar penuh penyesalan yang tidak dibuat-buat.

Embun memahaminya tanpa harus ia bercerita.

"Sekali lagi, aku minta maaf..." Lalu setelahnya Embun berlalu ke arah dapur. Meninggalkan Surya yang mati-matian menahan diri agar tidak meloloskan decak kagum.

***

Ada alasan mengapa Surya begitu membenci kejujuran. Ia pernah kehilangan orang yang sangat berharga hanya karena sisi dirinya yang lemah. Terlalu baik, terlalu jujur, dan selalu mengalah.

Dan sejak itu. Surya membenci setiap orang yang datang dengan senyum hangat menjanjikan kebahagiaan. Surya benci dengan orang yang bersikap seolah perduli, padahal nyatanya justru menyakiti.

Dan Surya juga benci mengakui, bahwa semua hal itu mendapatkan pengecualian pada diri Embun.

Surya benci jika harus mengakui bahwa Embun memanglah hanya gadis polos yang terlalu mudah memahaminya. Terlalu mudah perduli padanya padahal sudah ia sakiti sedemikian rupa. Surya benci mengakui hal itu. Karena ia takut, ia akan kehilangan itu semua secara tiba-tiba.

"Kak jangan ngelamun, masih pagi."

Perkataan itu membuat Surya mengerjapkan matanya yang sedari tadi memperhatikan Embun menyiapkan sarapan. Ia mengambil roti yang sudah disiapkan oleh Embun pada piring di depannya.

"Kakak masih marah sama aku?"

Kunyahan di mulut Surya memelan. Ia segera menelan lelehan cokelat yang menjadi selainya pagi ini.

"Kenapa harus marah. Lo gak ngelakuin apa-apa," kata Surya berusaha terdengar santai.

"Tapi perkataan kadang emang lebih tajem dari pisau yang baru diasah. Dan kemarin, aku gak mikir dulu sama apa yang mau aku omongin. Aku takut kakak ngambek, padahal kakak bukan anak kecil."

Sebenarnya Embun ini alien yang berasal dari planet mana? Kenapa harus se-menyenangkan ini?

"Jelas-jelas lo yang sepagian ini minta maaf sama gue. Lo yang kaya anak kecil," balas Surya.

"Aku minta maaf karena aku salah."

Dan lo berhasil bikin gue takjub dari cara lo minta maaf. Batin Surya.

"Bodo."

"Kakak gak mau maafin aku?" Tanya Embun. Rotinya yang sisa setengah ia letakkan kembali ke piring.

"Lo bisa diem gak, sih?!"

Embun menggeleng. "Aku kan punya mulut."

"Gue bilang diem, ya diem. Ngerti, gak?!"

Diam-diam Surya menahan senyumnya agar tidak tertarik karena reaksi Embun yang tiba-tiba kicep.

"Kalo lo gak keberatan. Gue gak mentoleransi orang yang terlalu sok tau soal kehidupan gue."

Embun tahu itu peringatan keras. Ia diberitahu agar lebih berhati-hati dalam berbicara lewat peringatan itu.

.
.
.
.
.
.
.
.
.
..
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Bersambung...

A Dangerous Boy (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang