35 - Menolak ke Pemakaman

6.8K 667 205
                                    

Setelah semua yang aku usahakan.
Kamu masih saja menikamku dengan perkataan kejam.
Mencekikku dengan kenyataan menyakitkan.
Jadi begitu,
Kamu berusaha memberi tahu jika tidak ada yang bisa aku lakukan selain pergi meninggalkan.

-Embun Shara Gemilang

***

Suara ketukan membuat Surya mengerjapkan matanya beberapa kali. Saat ia bergerak tubuhnya terasa pegal semua. Matanya menoleh ke kanan dan kiri.

Ternyata ia ketiduran di kursi dengan kaki yang diletakkan di palang jendela.

Setelah merenggangkan otot dan mengucek kedua matanya, Surya berjalan ke arah pintu. Sosok Embun yang sedang memiringkan kepala terlihat saat pintu sudah terbuka.

"Kakak udah bangun?" tanya Embun.

Tidak ada jawaban.

"Sekarang udah jam tiga sore, Kak."

Barulah Surya mengangkat tangannya yang dilingkari arloji. Jam tiga sore lewat sepuluh menit.

Tapi Surya tetap tidak menyahut. Ia berjalan melewati Embun menuju lantai satu. Tepat di anak tangga terakhir, bola matanya sedikit membesar. Melihat bagian lantai satu yang sudah rapi kembali. Tidak ada apapun yang tersisa dari hasil perbuatannya pagi tadi.

Pecahan piring sudah disapu rapi. Piala yang ia lemparkan dan ia berantakan begitu saja juga sudah kembali berjajar di lemari. Ada beberapa yang patah diletakan di atasnya, dekat baju milik Embun. Pun dengan darah yang membekas di tembok, udah dilap tanpa meninggalkan jejak.

"Kak, pemakaman ayah Kakak sore ini, tepat jam tiga sore. Sekarang kita harus ke sana, Kak."

Surya menoleh saat sudah menjejakkan kaki di lantai satu. Melihat Embun yang masih berada di anak tangga. Ia baru sadar bahwa gadis itu sudah rapi. Sedangkan dirinya masih mengenakan seragam sekolah.

Tapi ia memang tidak bisa. Ia yakin akan ada banyak orang yang mengucapkan belasungkawa. Entah itu rekan kerja ayahnya semasa dulu, atau petugas rumah sakit jiwa. Menyalaminya dan memberi semangat. Memasang wajah ikut berduka. Menambah nyata saja kepergian ayahnya. Dan ia tidak mau melakukan hal itu.

"Jadi bokap gue beneran mati, ya?" Surya tertawa hambar. Masih tidak menyangka semua kejadian yang terjadi akhir-akhir ini.

Perkataan itu membuat Embun tersentak kaget. Apa maksudnya?

"Kematian itu bukan permainan, Kak." Embun mengikuti Surya yang berjalan ke arah sofa. Cowok itu kemudian duduk di sana dengan kepala yang disandarkan.

"Harusnya dia masih idup, Kan?"

"Kalo Kakak emang belum nerima kenyataan, oke aku paham. Aku tau ini pasti berat. Bukan! Terlalu berat. Tapi gak seharusnya Kakak bersikap kaya gini. Coba bersikap dewasa dong, Kak!" Embun berkata lantang. Satu hal yang berhasil membuat Surya menoleh dengan kilatan tajam.

"Tau apa lo, Bangsat?!" Surya mengatakannya memang tidak dengan nada keras. Malah cenderung pelan. Tapi justru menikam Embun  lebih dalam. "Tau apa lo tentang kedewasaan dan nerima segala hal? Lo bersikap kaya gini supaya apa? Supaya gue lirik? Huh?"

Dan kalimat itu berhasil membuat bulir bening mengalir begitu saja. Embun tidak mengira jika Surya akan mengatakan hal itu.

Surya berdiri lalu menatap Embun. Mengabaikan sorot tersakiti itu, ia berkata, "Gak usah sok perduli, Berengsek! Gak usah bersikap kalo lo bener-bener paham sama apa yang gue rasain. Lo itu cuma pembantu, jadi gak usah narik perhatian gue, Bangsat!"

A Dangerous Boy (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang