36 - Mengucapkan Salam Perpisahan

7.1K 612 142
                                    

Sebelum baca aku mau ngasih tau kalo hari ini aku ultah.
Gak ada yang niat ngasih kado gitu?
Calon imam masa depan, misalnya.

Ehee...

***

Kematian adalah sekat terpanjang dan terjauh yang tidak bisa dilawan oleh manusia.
Bukan karena tak mau, tapi karena sadar bahwa semuanya percuma.
Karena bukan lagi jarak atau tembok penghalang yang menjadi pembatas, tapi dunja yang sudah berbeda.

***

Setelah memikirkan keputusannya dengan matang, di sinilah Embun berada sekarang. Di pemakaman umum yang kemarin Sinta sebutkan. Embun melangkahkan kakinya menyusuri sisi makam. Suasana tidak terlalu sepi karena masih menunjukkan pukul setengah lima sore.

Ia berhenti tepat di depan seorang pria paruh baya yang sedang berjalan sambil membawa sapu.

Dengan senyum lebar Embun menyapa, "Permisi, Pak. Maaf saya mau tanya, boleh?"

Pria itu balas tersenyum dan mengangguk. "Boleh, Neng," katanya.

"Kemarin ada orang yang dimakamkan di sini. Sekitar jam empat sore. Kalau saya boleh tau makamnya di sebelah mana ya, Pak?" tanya Embun sopan.

"Oh memang ada yang dimakamkan kemarin di sini. Kalau sore kayaknya cuma satu." Pria itu menunjuk hamparan makam di depan Embun.

Terlihat hijau dengan deretan makam berbeda.

"Di sana, Neng. Kamu jalan aja ke sana, nanti kalau ngeliat makam yang masih basah, itu makamnya."

Embun mengangguk mengiyakan.

"Terima kasih, Pak. Kalau begitu saya ke sana dulu."

"Oh iya, Neng. Silahkan!"

Pria itu memberi jalan kepada Embun. Mempersilahkan Embun untuk berjalan melewatinya.
Jajaran makam dengan lapisan rumput hijau halus di atasnya menyapa Embun. Semilir angin menambah suasana sunyi pada tempat peristirahatan bagi manusia yang sudah meninggal itu.

Setelah membetulkan posisi tasnya, Embun menoleh ke kanan dan kiri. Mencari makam yang tadi disebutkan oleh Bapak penjaga makam. Sampai tatapannya jatuh pada satu makam yang tanahnya masih merah.

Embun menghampiri makam itu dan berjongkok di sisinya. Tanahnya masih basah saat ia sentuh. Nama Adi Kusuma Gerhana tercetak jelas di batu nisan. Membuat Embun semakin yakin bahwa ia tidak salah makam.

"Assalamualaikum, Om!" sapa Embun.
Tangannya menarik tas untuk kemudian ia letakkan di pahanya.

Sebuah plastik hitam ia tarik dari dalam setelah membuka resleting.
Bunga yang sudah ia siapkan sejak pagi ia taburkan di atas makam itu. Sedikit layu tapi warnanya tidak pudar. Mempercantik makam ayah Surya yang memang sudah dipenuhi bunga beraneka warna.

"Kita pernah ketemu sekali sebelumnya, Om. Waktu itu saya sama Kak Surya dateng buat jenguk Om di rumah sakit. Bawa kue ulang tahun." Embun bercerita. Tangannya masih bergerak menaburi bunga.

"Walaupun baru ketemu sekali, saya tau Om orang baik. Karena Kak Surya selalu banggain Om di depan saya. Katanya Om itu orang yang sempurna, ayah paling hebat di dunia. Makanya saya selalu berdoa semoga Om ditempatkan di tempat yang terbaik."

Tangannya beralih mengusap batu nisan. Bunganya sudah habis dan plastiknya ia masukkan kembali ke dalam tas.

"Kak Surya hancur waktu tau Om pergi," Kini suaranya terdengar lirih.

"Aku tau ini emang terlalu tiba-tiba dan pasti berat banget. Tapi sebelumnya aku mau minta maaf karena gak berhasil bawa Kak Surya ke sini, padahal udah aku paksa pake cara halus tapi tetep aja gak mau. Maaf ya, Om. Saya mutusin buat ninggalin anak Om."

A Dangerous Boy (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang