Semudah itu kau mengembalikan senyuman.
Memberi ketenangan,
Juga menghilangkan segala kegundahan.-Alias Surya Gerhana
***
Dulu, Surya pernah berpikir kalau tidak ada manusia yang benar-benar tulus di dunia ini. Setelah kehilangan jati diri karena ayahnya yang masuk rumah sakit jiwa, Surya hanya tahu jika semua manusia itu sama.
Menghalalkan segala cara hanya untuk mendapatkan apa yang diinginkan. Melempar senyuman hanya untuk mendapatkan imbalan.
Setidaknya itulah pandangan Surya. Tapi melihat Embun yang diam-diam menahan tangis sejak pulang tadi, membuatnya tahu jika Embun memiliki ketulusan yang tidak dibuat-buat.Mengenal Embun, Surya seolah bertemu sosok ayahnya dalam balutan seorang gadis. Dia tidak pernah pamrih atas apapun yang dilakukannya. Dan Surya benci hal itu. Karena ia harus mengakui jika dirinya kalah dari asumsinya sendiri.
"Kenapa sih lemah banget? Nangis mulu." tanya Surya melepas asal sepatunya.
Mereka duduk di sofa. Jam dinding menunjukkan pukul setengah tujuh malam. Karena hujan yang turun cukup deras, mereka harus menunggu lama sampai hujan reda. Sehingga baru sampai rumah setelah adzan maghrib.
"Kak," panggil Embun setelah meredakan isaknya.
"Hm,"
"Aku boleh tanya?"
"Nanya mah nanya aja. Ngapain segala pake izin?"
Surya membuka kancing teratas kemejanya setelah melonggarkan dasi, tangannya melepaskan tas yang masih melekat di punggung lalu melemparnya ke meja. Bajunya agak basah, begitupun dengan rambutnya.
"Aku sama sekali gak ada maksud buat nyinggung perasaan Kakak. Tapi kebiasaan Kakak yang ke luar setiap malem juga karena hal itu?"
Hening beberapa saat. Surya berusaha mencerna perkataan Embun. Ia mengerti jika yang Embun maksud adalah pembicaraan mereka saat hujan tadi.
"Gue tau di kepala lo pasti mau nanya kenapa bokap gue gak dicoba dibawa ke psikiater,"
Embun mengerjapkan matanya dua kali. Memang benar, ia juga ingin menanyakan hal itu. Hanya saja ia jauh lebih penasaran dengan alasan lahirnya jati diri Surya yang baru.
"Pas nyokap pergi, bokap gue cuma jadi orang yang gak punya tujuan hidup. Gue nangis tiap malem. Dan gue cuma anak yang gak ngerti apapun. Gue gak ngerti tentang psikolog atau psikiater. Sekolah gue berantakan. Nilai ancur. Sampe di satu waktu, pas gue baru pulang sekolah, bokap dibawa ke rumah sakit jiwa sama warga karena ngelukain pembantu rumah kita."
Surya tertawa hambar. Menertawakan betapa sengsaranya hidupnya selama ini. Selalu berada di satu lingkup yang sama berbau sandiwara.
"Perusahaan bokap bangkrut, rumah disita, bokap gue di rumah sakit jiwa, sementara Sinta bahagia. Sekarang gue tanya," Surya menoleh ke arah Embun. Membuat Embun harus tersentak karena melihat mata Surya yang berkaca.
"Setelah apa yang gue alami? Apa salah kalo gue gak ngakuin Sinta sebagai ibu gue lagi?"
Dan bulir itu kembali luruh. Embun tidak lagi bisa menahannya. Mungkin karena sadar, bahwa tidak ada manusia yang benar-benar kuat di muka bumi ini.
Seperti Surya, terlalu banyak topeng yang di kenakan. Sampai siapapun tidak akan benar-benar mengenal jika belum masuk ke kehidupannya.
"Tabungan gue cuma cukup buat sewa kontrakan kumuh yang gak jauh beda dari rumah lama lo. Karena gue harus bayar biaya sekolah dan kebutuhan gue. Sementara di sana, Sinta bahagia di rumah mewah yang dia beli pake duit bokap gue."
KAMU SEDANG MEMBACA
A Dangerous Boy (TAMAT)
Teen Fiction18+ BAGI YANG MEMILIKI MENTAL LEMAH DIHARAP JANGAN MEMBACA! Karena setelah mengenal sosok Surya, jangan harap bisa lepas darinya. Silakan arungi, dan kendalikan diri agar tidak tenggelam. Rank : # 1 in Kelam 30/04/2021 # 1 in Secret 2...