Asap rokok hampir memenuhi seluruh ruangan, beberapa putung rokok juga berserakan di lantai tapi Gibran tak kunjung mau berhenti. Dia malah mengambil satu rokok lagi lalu menyalakan korek apinya namun seseorang dari belakang mengambil alih rokok itu dan membuangnya ke sembarang arah.
"Ck!" decak Gibran.
"Udah cukup Bran!"
Mendengar itu Gibran lantas tersenyum tipis. "Kenapa?"
"Kamu mulai kecanduan sekarang dan om gak suka," ucap Indra, Paman Gibran.
"Terus? Ini cuma rokok bukan narkoba gak usah selebay itu."
Indra hanya bisa mendengus kesal menanggapi sikap Gibran. Pria tiga puluh lima tahun itu mengamati wajah keponakannya, ia baru sadar jika ada luka baru disudut bibirnya.
"Kamu berantem lagi? Belum puas bikin onarnya?!"
"Battrel yang mulai duluan."
"Harus banget ya diladenin?"
"Kenapa sih om nggak setuju banget kalau Alghoz bentrok sama Battrel?."
"Ini demi keselamatan kamu."
"Battrel itu lemah, santai aja," ujar Gibran, dia lalu mengambil jaket hitamnya di sofa dan pergi begitu saja.
Ini memang bukan pertama kalinya Gibran menentang ucapan Indra, sudah tiga tahun lamanya pria itu merawat Gibran namun waktu yang lama itu pun tak cukup untuk benar-benar memahaminya.
Indra menggeleng pelan melihat kepergian Gibran mungkin moodnya kurang bagus pikirnya. Pria 35 tahun itu berjalan menuju ruang keluarga, menatap penuh arti potret keluarga besar Kafeel dengan ukuran kurang lebih 16 R.
Pria itu menghembuskan nafas pelan menatap wajah seorang pria yang lebih tua darinya, Indra tersenyum samar. "Dia sama denganmu, tidak suka diatur."
🔥🔥🔥
Rumah Sakit Sanjaya
Pukul 15.03Cukup banyak orang yang berlalu lalang di koridor rumah sakit, tampaknya sore ini banyak yang datang untuk menjenguk pasien termasuk Gibran.
Remaja lelaki itu hampir setiap hari datang entah pagi, siang, sore ataupun malam sembari berharap adanya perubahan terhadap kondisi kedua orang tuanya.
Sudah tiga tahun lamanya mereka tak sadarkan diri. Gibran pikir mungkin ini hukuman untuknya yang telah gagal melindungi orang tuanya jika diberi kesempatan untuk pergi ke masa lalu, dia pasti akan melindungi mereka dan merubah jalan takdir hidupnya.
Gibran memasuki ruang rawat orang tuanya, berjalan mendekat menuju brankar tempat ibunya terbaring lemah. Risa, sosok wanita tegar yang sangat sabar menghadapi Gibran.
Setetes air mata mulai mengalir dari sudut matanya. "Maaf..." lirihnya.
“Maaf, mama...” ucapnya disela isak tangis.
Gibran menutup matanya, kedua tangannya menggenggam erat kain sprei bahkan tetesan air matanya jatuh disana.
"Kenapa? Kenapa harus kaya gini?!"
"Mama nggak seharusnya disini! Ini salah dan Gibran penyebabnya! Seharusnya Gibran bisa ngelindungi kalian tapi....tapi Gibran gagal!!!"
Kini kedua kakinya terasa lemas, Gibran bertekuk lutut di samping brankar Risa. Menyembunyikan wajahnya diantara lipatan tangan, menangis sejadi-jadinya. Mengeluarkan semua kesedihannya hingga membuat sprei putih itu benar-benar basah.
"Bodoh! Bodoh! Bodoh!" umpatnya sembari memukul kepalanya sendiri berulang kali.
"Dasar tidak berguna! Melindungi orang tuamu sendiri saja tidak bisa, dasar bodoh! Lemah!"
KAMU SEDANG MEMBACA
GIBRAN RAFFRANSYAH
Action"Biarin gua jadi pembunuh, Ra." Kehidupan remajanya penuh tantangan, air mata dan luka akibat tragedi yang menimpa keluarganya. Membuatnya menjadi remaja nakal yang pantang di atur, tidak kenal takut dan akrab dengan berbagai rasa sakit. Berusaha me...