38 - Lelah

162 23 32
                                    

Gibran mendengus kesal, ia melemparkan ponsel di genggamannya sekuat tenaga hingga membuat beberapa orang terjengkit kaget karena suaranya.

Semua anak buah Alghoz hanya bisa menunduk tak berani menatap leadernya yang tengah tersungut emosi berbeda dengan para ketua divisi, mereka tidak menunduk sama sekali seakan ingin menentang keputusan Gibran.

"Sekarang siapa lagi yang jebak gua ha?!" bentak Gibran tiba-tiba.

"Maksud lo apa, Bran?" ujar Naufal yang sudah mulai tersungut emosi.

"Gavin telfon gua, dia bilang gua habis bunuh salah satu anak buahnya padahal gua gak tahu apa-apa!"

"Terus lo mau nyalahin kita? Mau nyalahin Alghoz lagi? Atau Zavier?!" ucap Daniel.

"Siapa lagi kalau bukan Zavier?! Sekarang lo semua percaya kan kalau Zavier itu penghianat."

"Bukan Zavier, Bran! Gua harus jelasin berapa kali sih ke lo!" balas Daniel sedikit membentak.

"Oh..jadi lo udah berani ngelawan gua? Iya?! Udah lah emang nggak seharusnya Alghoz itu ada!"

"Lo kenapa sih Bran, please jangan gegabah! Lo itu pemimpin Bran! Pemimpin! Semua yang lo omongin, yang lo lakuin itu berdampak buat Alghoz, jangan emosi dulu!" kata Rizky.

"Terus kalau bukan Zavier siapa? Nil, lo bilang bukan Zavier kan berarti lo tahu kan penghianatnya? Bilang ke gua siapa, biar gua gak salah mulu di sini."

"Gua nggak bisa Bran."

"Gitu ya? Oh atau jangan-jangan lo sendiri lagi penghianatnya, lo yang mau bunuh gua kan?"

"Gua nggak setega itu kali Bran, lo ngeraguin persahabatan kita?"

"Udah cukup! Kalian jangan bertengkar terus kaya gini, gak akan nyelesain apapun! Bran, om tahu kamu emosi, kamu marah, bingung tapi kamu nggak boleh gegabah dan melampiaskan semuanya ke Alghoz, ini bukan sikap seorang ketua!"

"Jadi om Indra mau Gibran mati?"

Bugh

Akbar memukul Gibran tepat di sudut matanya serangan tiba-tiba itu tidak dapat dihindari lagi. "Bodoh kamu Bran!"

"Kenapa kamu kecewain papa lagi?! Belum cukup lihat papa menderita, iya?"

Gibran melirik tajam kepada ayah kandungnya itu. Dia tersenyum miring, sedetik kemudian melayangkan pukulan kepada Akbar hingga pria berumur 44 tahun itu tersungkur.

"GIBRAN!" teriak Risa.

Wanita itu baru datang bersama Elvano yang mengantarnya ke markas Alghoz tempat semuanya berkumpul saat ini.

Risa berjalan cepat menghampiri Gibran, raut wajahnya tidak dapat berbohong. Ia berhenti tepat di hadapan Gibran dan langsung menamparnya begitu saja. Baru kali ini Risa memukulnya, Indra yang melihat itu segera mencegah kakak iparnya ketika wanita itu akan memukul Gibran sekali lagi.

"Sabar mbak, sabar. Gibran itu nggak bisa dikerasin nanti malah ngelawan," ucap Indra.

"Aku udah capek Ndra, capek lihat Gibran yang nggak bisa dewasa," jawab Risa hampir menangis sembari melihat ke arah Gibran.

"Udah mulai kurang ajar ya sama papa kamu sendiri Bran!"

"Gibran capek ma, Gibran kecewa, Gibran kesel! Semua orang lebih milih belain si penghianat itu! Semua orang pengen Gibran mati!"

Plak

Risa menampar Gibran sekali lagi, bahkan lebih keras. "Sejak kapan kamu mau dibodoh-bodohin sama musuh kamu sendiri, Bran."

GIBRAN RAFFRANSYAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang