09 - Penyerangan

772 101 37
                                    

Ruang inap pasien yang bernuansa putih itu menjadi tempat Gibran menghabiskan sebagian waktunya.

Menatap dua orang yang sangat dia sayangi diam terbaring tak bersuara.

"Pa." Suara Gibran memberikan sedikit keramaian di ruangan yang sunyi itu.

Gibran duduk di kursi sebelah brankar papanya dia menggenggam tangan laki-laki itu dengan kedua tangannya dan memandang wajah lemah yang sedang berjuang melawan sakitnya dengan tatapan sendu.

"Kenapa papa kecewain Gibran? Apa Gibran udah terlanjur bikin papa kecewa benget sampai papa gak bisa maafin Gibran?"

"Gibran bener-bener nyesel pa karena gak bisa ngelindungi kalian."

"Pa Gibran janji akan cari si brengsek itu, Gibran pastiin dia nebus kesalahannya."

Flashback on

"Mau kemana Bran?" tanya pria bertubuh tegap dengan ketampanan yang tidak pernah berkurang dan Gibran mewarisi hal itu.

"Rumah Daniel," jawab Gibran sembari memainkan kunci motornya, berjalan cepat menuruni anak tangga.

"Ada urusan apa?" tanya pria itu lagi yang masih senantiasa menatap anak semata wayangnya sambil duduk di sofa.

"Cuma mau ngumpul pa."

"Pulangnya jangan terlalu larut!" ucap santai laki-laki itu tapi penuh peringatan.

"Iya."

"Gibran kenapa gak dirumah aja, jaga rumah habis ini mama mau nemenin papa ketemu klien," sambar seorang wanita.

"Terus tugasnya pak Jojo selaku satpam disini apa kalau bukan buat jaga rumah ma."

"Maksud mama, kamu kenapa gak diam dirumah aja mama takut kamu kenapa-kenapa di luar apalagi mama dengar ada buronan polisi yang berkeliaran di kota ini mama jadi khawatir," ucap Risa selaku mama Gibran seraya mendudukkan dirinya di sofa.

"Mama tenang aja Gibran bisa jaga diri, Gibran udah besar bukan anak kecil lagi."

"Mentang-mentang baru masuk SMA langsung sok-sok an kamu ya"

"Tapi kan emang bener ma kalau Gibran itu udah besar buktinya bisa mandi sendiri, makan sendiri."

"Udahlah ma biarin aja Gibran pergi lagian juga dia cuma mau ketemu sahabatnya, mama jangan terlalu khawatir sampai berniat mau mengurung Gibran di dalam rumah dia itu cowok ma sekali-kali kita boleh memberikan kebebasan asal itu baik dan mengingat Gibran sudah pandai bela diri dia bisa melindungi dirinya sendiri," ucap Akbar selaku ayah Gibran yang berusaha menenangkan istri tercintanya.

Risa menghela nafas pelan lalu menatap lembut wajah suaminya dan berlanjut pada wajah putranya.

"Maafin mama ya udah terlalu memaksa kamu untuk menuruti semua keinginan mama, mama lupa kalau anak mama ini sudah besar."

Gibran berjalan mendekati mamanya dan mendudukkan dirinya di sofa tepat di samping mamanya yang tengah duduk sambil menatapnya.

Gibran meraih satu tangan Risa dengan tangan kanannya lalu menempatkannya di telapak tangan kirinya dan mengelus lembut tangan itu.

"Gibran ngerti kekhawatiran mama, mama gak perlu minta maaf karena ini bukan kesalahan tapi suatu bentuk kasih sayang," ucap Gibran seraya tersenyum.

Risa mengelus lembut puncak kepala Gibran lalu menarik kepala putranya itu untuk mendekat ke arahnya dan ciuman tulus seorang ibu itu berhasil mendarat di kening Gibran.

"Yasudah kamu mau ketemu sahabat-sahabat kamu kan buruan berangkat sana."

"Iya ma, Gibran pamit," ucap Gibran sambil mengecup punggung tangan kanan Risa lalu berganti mengecup punggung tangan kanan Akbar.

GIBRAN RAFFRANSYAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang