Gibran melemparkan gulungan kertas tepat ke kepala Daniel membuat teman masa kecilnya itu menoleh.
"Nyontek....nyontek," ujar Gibran tanpa suara sembari menunjukkan lembar soal ulangannya.
Sedari tadi Gibran terus berdecak sebal, moodnya hancur seketika saat paginya kali ini sudah disambut dengan ulangan matematika. Untungnya ada Daniel, satu-satunya anggota Alghoz yang pandai dalam mata pelajaran tersebut.
"Nomer berapa?" tanya Daniel.
"Semua lah bego."
Daniel mendengus sebal. "Dia yang bego, gua yang dikatain," ujarnya bermonolog meski begitu Daniel tetap menyalin jawaban ulangannya di gulungan kertas yang dilempar Gibran padanya.
Namun laki-laki itu kembali mendapat lemparan kertas lagi. Daniel langsung menoleh, ia sudah bisa menebak bahwa itu ulah Zavier.
Zavier tersenyum lebar menunjukkan deretan giginya yang rapi. "Nanti gua traktir seblak," negonya bermaksud untuk meminta contekan.
Daniel langsung tersenyum mendengarnya. "Oke!" balasnya sembari memberi tanda jempol.
Waktu berlalu ulangan matematika itu akhirnya selesai. Jawaban Gibran, Daniel, dan juga Zavier sudah pastinya sama persis tapi mereka tidak peduli soal itu.
Bertepatan dengan selesainya jam pelajaran matematika, bel istirahat juga berbunyi. Beberapa siswa pun sudah keluar dari kelasnya masing-masing.
"Gak ke kantin Bran?" tanya Daniel.
"Males," jawab Gibran sekenanya.
"Halo abang-abangku..." sapa Naufal sedikit berteriak saat memasuki kelas Gibran. Ia datang bersama Elvano.
"Tumben lo ke sini," ucap Zavier.
"Mau ngajak kalian mabar."
"Gass deh," sahut Daniel cepat.
"Lo berdua gak mau ikutan nih?" tanya Naufal yang ditujukan untuk Gibran dan Zavier.
Keduanya menggeleng pelan. Zavier mulai memasang earphone di satu telinganya, sudah menjadi rutinitasnya setiap hari untuk mendengarkan lagu-lagu yang dibawakan ayu ting-ting.
Sampai suara Gibran yang memanggil namanya membuat Zavier mengalihkan fokusnya dari ponsel yang berada di genggamannya.
"Vir, gua mau nanya."
"Ha apaan?"
"Pesan dari nomer gak dikenal yang sempet gua baca dulu di handphone lo, itu ada maksud lain?"
Zavier mengangguk, mengiyakan ucapan Gibran. "Iya dan pastinya bukan buat nyelakain lo."
"Sorry," kata Gibran penuh rasa bersalah.
"Haha...iya, iya Bran udah gua maafin. Santai aja," balasnya sembari menepuk pelan pundak Gibran.
"Gibran mana Gibran?!" tanya Pak Sholeh, satpam sekolah itu terlihat sangat panik. Ia terus bertanya pada siswa yang tengah lewat di koridor, bahkan suaranya dapat didengar Gibran dan yang lain dari dalam kelas.
"Gibran, cepet kamu keluar!" ujarnya setelah berada di ambang pintu kelas Gibran.
"Santai dulu pak, jelasin ada apa?" ucap Daniel.
"Orang yang waktu itu ke sekolah, dia balik lagi!"
"Siapa? Sebutin ciri-cirinya," ucap Daniel lagi.
"Rambut putih! Yang pernah ngajak kalian tawuran, dia datang lagi nyari Gibran!" jelas Pak Sholeh yang makin panik, jujur saja ia sedikit trauma setelah penyerangan waktu itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
GIBRAN RAFFRANSYAH
Acción"Biarin gua jadi pembunuh, Ra." Kehidupan remajanya penuh tantangan, air mata dan luka akibat tragedi yang menimpa keluarganya. Membuatnya menjadi remaja nakal yang pantang di atur, tidak kenal takut dan akrab dengan berbagai rasa sakit. Berusaha me...