Benarkah Jumatan di Kantor Tidak Sah Karena Bukan Penduduk Setempat?
Mon 17 November 2014
Pertanyaan :
Salah satu bahasan tentang sholat jumat dalam Kitab Fathul Muin, disebutkan orang yang wajib sholat jumat adalah laki-laki, merdeka, mustauthin (penduduk setempat) dan diwajibkan juga bagi orang mukim.Namun demikian, orang mukim yang tidak mutauthin tidak dapat mengesahkan pelaksanaan sholat Jumat (tidak masuk dalam hitungan jumlah minimal jamaah sholat jumat). Yang ingin saya tanyakan kepada ustad :
1. Apa dan bagaimana batasan mutauthin?
2. Bagaimana batasan negeri (baladul jumat), apakah desa, kecamatan, atau kabupaten?
3. Kalau ada karyawan kerja diluar kota (jarak tempat kerjanya + 20 km),bagaimana status dia ditempat kerjanya, apakah sebagai Mutauthin atau Ghoiru mutauthin?
4. Bagaimana status sholat jumat yang diadakan di kantor-kantor, yang nota bene tidak diikuti oleh penduduk setempat?
Terima kasih atas penjelasan ustad.
Jawaban :
Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,Pertanyaan Anda ini memang menarik sekali untuk dibahas, yaitu terkait dengan syarat sahnya sebuah pelaksanaan shalat Jumat. Memang banyak ulama khususnya di dalam mazhab Asy-Syafi'iyah yang mensyaratkan bahwa selain harus dihadiri oleh 40 orang mukallaf, ke-40 orang itu harus berstatus mustauthin. Di dalam kitab Fathul Mu'in, ditulis bukan mustauthin melainkan mutauthin.
Walaupun shalat Jumat dihadiri 40 orang lebih, namun kalau dari 40 orang itu ada yang statusnya bukan mustauthin, maka shalat Jumat itu dianggap tidak sah.
Memang yang jadi masalah adalah pengertian mustauthin itu sendiri. Sebab di dalam banyak mengajian, khususnya pengajian kitab kuning, para kiyai sering menterjemahkan kata mustauthin ini dengan terjemahan yang kurang akurat, yaitu penduduk lokal atau penduduk setempat.
Dengan penerjemahan sebagai penduduk lokal, tentu saja shalat Jumat yang diselenggarakan itu menjadi tidak sah, meski jumlah yang hadir itu sudah mencapai 40 orang. Kenapa?
Karena biasanya masjid-masjid di perkantoran itu lebih banyak diikuti oleh pegawai kantor tersebut, yang nota bene rmahnya tidak di sekitaran kantor alias bukan penduduk setempat. Ada yang jaraknya 5-10 km, ada yang 10-20 km, ada juga yang lebih dari 20 km. Sedangkan yang rumahnya di sekitar kantor boleh jadi kurang dari 40 orang.
Dan itulah masalah yang agak mengusik kita terkait dengan penyelenggaraan shalat Jumat di banyak gedung perkantoran di Jakarta ini. Shalat Jumat di masjid-masijd perkantoran umumnya hanya dipenuhi oleh para pegawai yang ternyata rumahnya jauh-jauh. Dan orang yang rumahnya jauh itu dianggap bukan penduduk setempat, atau seperti dalam bahasa kitab fiqih, mereka bukan mustauthin.
Buktinya, kalau hari Jumat jatuh pada hari libur alias tanggal merah, biasanya shalat Jumat diperkantoran itu pun diliburkan, karena tidak ada jamaahnya. Sedangkan penduduk setempat yang tinggal di sekitar perkantoran itu masing-masing shalat Jumat di masjid lingkungannya dan tidak masuk ke masjid-masjid perkantoran.
Yang jadi titik masalah adalah syarat harus mustauthin itu, ketika diterjemahkan menjadi penduduk setempat. Dan menimbulkan kesimpulan bahwa shalat Jumat di masjid perkantoran itu tidak sah.
Benarkah Mustauthin Berarti Yang Rumahnya Dekat Masjid?
Bukti ketidak-akuratan penerjemahan ini adalah kebingungan para santri yang belajar kitab kuning. Kalau mustauthin diterjemahkan menjadi jamaah yang rumahnya dekat masjid atau penduduk setempat, lalu apa batas yang membedakan antara pruamh dekat dan rumah jauh? Mana batas penduduk setempat dengan bukan penduduk setempat? Apakah batasannya desa, kecamatan, atau kabupaten? Berapa jarak minimal seseorang dianggap sebagai penduduk setempat atau bukan penduduk setempat?
KAMU SEDANG MEMBACA
ملخص الفقه الإسلامي {٢} - كتاب أحكام الصلاة ✓
Espiritualبِسْــــــــــــــــمِ ﷲِالرَّحْمَنِ الرَّحِيم الحمدلله وكفى، وسلام على عباده الذين اصطفى. وبعد... Alhamdulillah, segala puji hanya milik Allah SWT. Salawat dan salam kepada nabi Muhammad Saw. Fiqih sangat penting bagi kehidupan umat Islam. Karena...