Menjama Shalat Sesudah Tiba di Rumah, Bolehkah?
Thu 25 April 2013 | Shalat > Shalat Jama
Pertanyaan :
Assalamu'alaikum Wr. Wb.Pak Ustadz, saya ingin bertanya. ketika dalam perjalanan pulang dari bepergian keluar kota, saya berniat melakukan sholat jama takhir magrib dan isya. tetapi saya melakukan sholat jama tersebut setibanya saya di rumah. apakah hal itu diperbolehkan ?
Terima kasih.
Wassalamu'alaikum Wr Wb
Jawaban :
Asalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,Shalat jama' dan qashar telah disepakati hanya diperbolehkan karena sebab-sebab tertentu saja. Salah satunya adalah karena sebab safar atau perjalanan. Memang ada sebab yang lain, seperti sakit, hujan, haji dan lainnya. Tetapi bila kita melakukan shalat qashar dan jama' karena suatu sebab tertentu, maka kita harus konsekuen dalam pelaksanaannya.
Bila jama' dan qashar dilakukan oleh sebab rukhshah karena perjalanan (safar), maka hanya boleh dilakukan selama safar itu masih berlangsung. Jadi bila safar sudah selesai, jama' dan qashar sudah tidak berlaku lagi. Begitu juga, ketika safar belum dimulai, maka hukumnya juga belum boleh dilakukan.
Termasuk yang tidak dibenarkan jama' qashar bila safarnya tidak memenuhi ketentuan, seperti kurang jaraknya, atau hanya berputar-putar di sirkuit, atau tidak sengaja melakukan perjalanan jauh tanpa niat dan tujuan. Semua itu termasuk safar yang tidak memenuhi syarat.
Ketika seseorang sudah tiba kembali di rumahnya dari suatu perjalanan, maka pada hakikatnya safar yang dilakukan sudah selesai. Otomatis maka rukhshah atau keringanan yang berlaku buat safar pun segera berakhir. Maka umumnya para ulama tidak membenarkan kalau safar sudah berakhir, tetapi kita masih saja mempergunakan rukhshah itu.
Oleh karena itu, jalan keluarnya adalah selesaikan shalat jama' atau qashar itu setidaknya sebelum sampai di rumah. Sebab selama kita belum sampai di rumah, kita masih terhitung sebagai musafir. Tetapi kalau sudah sampai di rumah, anak kecil pun tahu bahwa perjalanan yang kita lakukan sudah berakhir.
Batas Wilayah Tempat Tinggal
Hanya saja ada sedikit perbedaan tentang batasan selesainya safar, apakah batasnya pintu rumah kita, atau batas desa kita, ataukah batas kota dan bahkan batas provinsi.
Dalam hal ini para ulama memang agak kesulitan untuk mendapatkan kata sepakat. Di masa lalu para ulama menyebut wilayah tempat tinggal dengan sebutan balad. Tetapi istilah balad di masa lalu tentu tidak sama dengan terjemahan populer balad di masa sekarang.
Madinah di masa Nabi SAW konon hanya seluas masjid An-Nabawi di masa sekarang ini. Populasinya pun amat sedikit, yaitu hanya 15 ribu hingga 30 ribu jiwa saja. Ketika seseorang melakukan safar, begitu keluar dari batas kota Madinah, dia sudah boleh melakukan jama' dan qashar. Dan sebalikya, begitu masuk kota Madinah sepulangnya dari safar, dia sudah bukan lagi musafir.
Tetapi Madinah hari ini sudah mengalami perluasan yang tidak terpikirkan sama sekali di masa lalu. Masjidnya saja bila menampung jutaan manusia. Luas masjidnya sama seperti kota Madinah di masa lalu.
Lantas yang menjadi perdebatan para ulama adalah : apakah batas wilayah tempat tinggal menjadi berubah sesuai dengan perkembangan kota?
Rumah Adalah Tempat Tinggal
Mari kita tinggalkan perdebatan ulama tentang batas wilayah tempat tinggal. Sebab pertanyaan di atas kan lebih kepada hukum orang yang sudah pulang sampai rumah dari perjalanannya.
Kalau yang dijadikan batas adalah pintu rumah, nampaknya semua ulama menyepakati bahwa begitu seorang masuk ke dalam rumah, otomatis dia telah kehilangan status kemusafirannya. Sebab rumah adalah tempat tinggal, dimana seorang yang masuk rumah berarti dianggap sudah pulang.
Kalau mau aman dari perbedaan pendapat, lakukan shalat jama' dan qashar sebelum kita masuk ke dalam kota tempat tinggal kita. Misalnya Anda datang dari Bandung menuju Jakarta, maka di jalan tol Cikampek sebelum masuk Jakarta, silahkan berhenti dan lakukan shalat jama' dan qashar.
Kalau kita datang naik pesawat terbang dari luar kota atau luar negeri, shalat jama' dan qashar masih sah dilakukan di Bandara Soekarno Hatta Cengkareng Banten. Dari pada lama antri ambil bagasi, kenapa tidak shalat jama' qashar saja dulu?
Pendapat Yang Membolehkan
Tidak bisa dipungkiri bahwa ada sebagian kalangan yang membolehkan jama' dan qashar dilakukan di dalam rumah ketika sudah pulang.
Walaupun sebenarnya pendapat ini masih perlu dikritisi, apa benar yang dimaksud adalah jama' qashar ataukah shalat qadha'?
Mungkin ada juga mereka yang berpendapat bahwa shalat jama' qashar masih boleh dikerjakan di dalam rumah ketika sudah pulang. Barangkali logikanya karena masih dianggap ada keterkaitan dengan safar.
Namun pendapat ini pasti akan melahirkan pertanyaan lagi, yaitu apakah shalat jama' qashar itu harus segera dilakukan, ataukah boleh ditunda? Kalau boleh ditunda, muncul masalah lagi, yaitu sampai kapan boleh ditundanya? Lalu apakah shalat-shalat lainnya juga masih 'ketularan' boleh dijama' juga?
Tetapi kalau yang dilakukan adalah shalat qadha', memang ada konsiderannya, walau pun tidak selalu tepat. Sebab pada dasarnya kita tidak boleh secara sengaja meninggalkan shalat fardhu begitu saja, selama masih bisa dilakukan walau pun dengan menjama', lalu kita menggantinya dengan qadha' di lain waktu.
Meski qadha'nya sah, namun yang jadi masalah adalah sengaja meninggalkan shalat tanpa udzur yang syar'i itu merupakan dosa besar. Bahkan ada pendapat yang terlalu ekstrim sehingga mengkafirkan pelakunya.
Qadha' Yang Dibenarkan
Namun mengqadha' shalat menjadi sah dilakukan dan menjadi solusi tepat, ketika dalam kasus kita tidak bisa secara benar shalat di atas kendaraan. Misalnya kita naik kereta malam yang sampai di tujuan sudah lewat matahari terbit.
Artinya, waktu shubuh kita lewatkan di atas kereta. Maka kalau memungkinkan, wajib atas kita untuk melakukan shalat Shubuh dengan benar, yaitu dengan berwudhu', berdiri, menghadap kiblat, ruku', sujud dan lainnya. Kalau semua bisa kita lakukan dengan benar dan sempurna, maka shalat shubuh itu sudah sah tidak perlu diqadha' atau diulang.
Tetapi kalau ternyata syarat dan rukun shalat tidak terpenuhi, misalnya tidak wudhu', bahkan tayammum pun tidak pakai tanah, tidak berdiri tapi duduk, tidak menghadap kiblat, tidak ruku' dan sujud, maka shalat itu belum sah dan belum gugur kewajibannya.
Para ulama menyebutnya sekedar shalat menghormati waktu saja, tetapi secara hukum, shalat seperti itu belum menggugurkan kewajiban. Kalau judulnya cuma buat shalat sunnah, memang Rasulullah SAW pernah menontohkan. Tetapi ketika shalat yang dilakukan adalah shalat fardhu lima waktu, beliau SAW pun turun dari untanya, untuk shalat secara sempurna.
Kalau dahulu Rasullullah SAW bisa dengan mudah turun dari unta, bagaimana dengan kita sekarang? Bisakah kita turun lompat dari kereta api atau pesawat yang melaju kencang?
Jawabnya tidak bisa. Oleh karena itulah umumnya para ulama mengatakan bahwa shalat yang dilakukan di atas kendaraan tapi tidak memenuhi syarat dan rukunnya, harus diulang sesampainya di rumah. Dan ada yang memberi nama shalat itu dengan sebutan shalat Qadha'.
Wallahu 'alam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc., M.A.
🌺🌺🌺
KAMU SEDANG MEMBACA
ملخص الفقه الإسلامي {٢} - كتاب أحكام الصلاة ✓
Spiritualبِسْــــــــــــــــمِ ﷲِالرَّحْمَنِ الرَّحِيم الحمدلله وكفى، وسلام على عباده الذين اصطفى. وبعد... Alhamdulillah, segala puji hanya milik Allah SWT. Salawat dan salam kepada nabi Muhammad Saw. Fiqih sangat penting bagi kehidupan umat Islam. Karena...