⚡⚡⚡⚡⚡
Kalau harus berakhir, akhiri saja sekarang. Tidak perlu mengulur waktu hanya untuk luka yang berulang.
⚡⚡⚡⚡⚡
Aurora masuk ke dalam kamarnya.
Ia merasa kesepian lagi.
Aurora duduk ditepi ranjangnya.
Ia sudah mempunyai teman selain Retta, Angkasa. Ia rasa semenjak mengenal Angkasa, hidupnya sedikit ada perubahan, tapi ia tidak tahu perubahan apa itu.
Dan nanti, mungkin sebentar lagi ia akan kehilangan Angkasa seperti ia kehilangan Bintang tiga tahun yang lalu.
Ia tidak siap, tapi ia harus siap.
Ia harus menemani akhir hidup lelaki itu.
Dan jika Angkasa sudah pergi nanti, bisa saja Mamanya Angkasa mengangkat Aurora menjadi anaknya?
Aurora tersenyum.
Andai Aurora dilahirkan dalam keluarga mereka. Ia tidak akan tersiksa seperti ini.
Tapi yang masih ia syukuri adalah ia menjadi adik Bintang.
Ngomong-ngomong soal Bintang, kemana hantu itu?
"Gue disini?" Hampir saja Aurora berlari melihat Bintang duduk di atas lemarinya.
"Gue bakal dipukulin Ibu sama Ayah nggak ya Kak?" Aurora menghembuskan napasnya.
"Nggak kayaknya. Ibu udah gue ancam lewat mimpi. Dan kalau mereka kayak gitu ke lo, lo pikir gue bakal diem aja?"
"Jangan sering ngancam-ngancam mereka dong Kak. Jangan jahat sama mereka juga, mereka orang tua lo Kak."
"Gue juga nggak ngerti sama diri gue sendiri." Bintang mengedikkan bahunya.
"Ra, mulai sekarang, gue mohon lakukan semuanya semau lo. Dan jangan sering belajar, dulu ... lo jarang belajar tapi selalu jadi yang pertama kan?"
"Itu dulu, sekarang saingan gue Leon Kak. Gara-gara dia gue jadi yang kedua."
"Apa perlu gue musnahin si Leo itu?"
Aurora menggeleng. "Gue mau bersaing secara sehat, makanya gue belajar."
"Sebentar, gue ada urusan Ra." Bintang menghilang.
Aurora merenungi hidupnya kembali.
Ia merasa lelah, tapi tidak tahu apa penyebab lelahnya.
"SINI KAMU BERANI NGELAWAN SAYA." Ibunya tiba-tiba masuk ke dalam kamar Aurora, menarik anaknya keluar kamar.
Aurora hanya pasrah, ya ia juga yang salah.
Kini, Aurora dan Ibunya berdiri di pinggir kolam renang.
Plak!
Satu tamparan mendarat di pipi kanan Aurora.
Plak!
Satu lagi menyusul di pipi kirinya.
Perih.
Tapi tamparan lebih baik dari pada ucapan tajam Ibunya.
Tanpa Aurora ketahui, Ibunya membawa sebuah sabuk.
Sang Ibu menyilak rok abu-abu Aurora. Paha Aurora disabet berkali-kali dengan sabuk itu. Hanya satu pahanya, paha kanannya.
Setelah puas dipaha, Ibunya beralih ke lengan Aurora, ia melipat baju seragam Aurora. Lalu mencubit dengan keras lengan Aurora.
Aurora hanya bisa meringis. Ia tidak mau melawan lagi.
Aurora memegangi kakinya dengan tangan kananya. Perih dipahanya semakin menjadi.
Tanpa aba-aba, didorongnya Aurora ke dalam kolam renang.
Byurrr!
Lalu Ibunya pergi begitu saja, tanpa ekspresi dan tanpa kata lagi.
Kolam renang ini dalamnya dua meter. Aurora sebenarnya jago berenang.
Tapi kaki kanannya kini mati rasa. Tangan kirinya juga.
Ia tidak bisa berbuat apa-apa selain mencoba untuk mengambil napas berulang kali dan mempertahankan tubuhnya agar tidak tenggelam.
Hingga lelah dan tak bisa bertahan.
Aurora pasrah.
Ia sudah tidak kuat untuk melakukan apapun lagi.
Yang awalnya hanya kaki kanan dan tangan kirinya yang mati rasa.
Kini ia merasa seluruh tubuhnya mati rasa, bahkan hatinya.
Ia menyerah dan kini tenggelam.
"Kak Bintang, gue mau donorin jantung gue buat Kak Angkasa." Kecap Aurora saat detik-detik sebelum benar-benar kehabisan tenaga dan napas.
⚡⚡⚡⚡⚡
Bersambung ...
⚡⚡⚡⚡⚡
KAMU SEDANG MEMBACA
Angkasa ✔ (Completed)
Teen FictionCover by @naaverse Idea by @naaverse And Quotes by @naaverse ⚠️⚠️⚠️⚠️⚠️ Keana Aurora Adalah dedara Masa depan membuatnya membara Ia ingin naik sampai puncak menara Banyak sengsara Sedikit gembira Ingin selalu menjadi juara Tapi selalu merasakan lara...