👑👑👑👑👑
Aku selalu bertanya pada diriku, apakah kamu ada hanya untuk ikut menderita?
👑👑👑👑👑
"Makasih Tante, maaf ngerepotin." Aurora tersenyum.
Wajahnya pias, ia sudah sadar sejak dua jam yang lalu.
Saat ia sadar yang dilihat pertama adalah Angkasa dan Mamanya. Tidak ada Ibu atau Ayahnya.
Aurora disuapi oleh Mamanya Angkasa, Mamanya Angkasa juga menyisir rambut Aurora, membantu Aurora untuk membilas wajah dan tubuhnya.
Jika begini, Aurora benar-benar ingin menjadi anaknya Mama Angkasa.
Tetapi saat ini, Mamanya Angkasa pamit karena harus bekerja kembali, ya bahkan saat menjenguk Aurora ia masih memakai seragam dokternya.
"Iya sama-sama Aurora sayang. Angkasa jagain Aurora ya, kalau mau pulang kamu telpon Mama." Mamanya Angkasa mengelus puncak kepala Aurora.
"Tante pergi dulu ya." Perempuan itu pergi dari ruangan Aurora.
"Makasih Tante Tata!" Aurora tersenyum lagi, hatinya menghangat.
"Lo nggak bilang terima kasih sama gue?" Angkasa menaikkan kedua alisnya, lalu membereskan barang-barang Aurora di nakas yang berantakan.
"Makasih Kak Angkasa." Aurora memiringka kepalanya agar Angkasa yang disebelahnya bisa melihatnya.
Setelah selesai merapihkan nakas, Angkasa menggeser kursi agar bisa dekat dengan ranjang Aurora.
"Kak." Panggil Aurora pelan.
"Kenapa Ra ada yang sakit?"
Aurora menggeleng lemah. "Tadi Ibu atau Ayah gue kesini nggak?"
Angkasa berdehem. "Mereka belum kesini, tadi lo dibawa kesini sama Bi Pipi, nanti malam Bi Pipi kesini nemenin lo kok. Atau lo mau ditemenin gue aja?"
"Lo kan besok sekolah Kak."
"Yakan tinggal suruh Mama buat bawain baju kesini."
Aurora menepak tangan Angkasa. "Ngga sopan nyuruh-nyuruh orang tua!"
Angkasa nyengir.
"Lo kenapa mau temenan sama gue?" Tanya Aurora tiba-tiba, ya pertanyaan itu mengganggu Aurora.
Angkasa tertegun.
"Karena gue adiknya Kak Bintang?" Tanya Aurora lagi.
"Nggak Ra. Karena gue pengin jadi guru les lo sekalian sahabat yang baik buat lo. Gue tuh greget sama cara belajar lo yang bikin stres sendiri, tau nggak?"
"Itu aja?"
"Terus maunya gimana?"
"Kalau tadi gue nggak sempat tertolong, gue mau donorin jantung gue buat lo Kak."
"Eh?"
"Gue serius, nggak pa-pa."
"Kenapa nggak donorin hati lo aja?"
"Eh hati lo rusak juga? Lo komplikasi? Terus umur lo tinggal berapa bulan lagi?" Aurora panik.
Tetapi, Angkasa justru tertawa, dimatanya melihat Aurora seperti ini lebih menyenangkan dibanding melihat gadis ini belajar serius.
"Kak! Gue ... harus belajar, tapi disini nggak ada buku." Aurora celingukan.
"Lo lagi sakit Ra, pikirin kesehatan lo dulu. Belajar masalah gampangan, lagian lo udah pinter."
"Tapi gue masih kalah pintar sama lo, sama Leo!" Aurora meninggikan suaranya.
Ia kehilangan kendali, ia harus belajar. Dimana buku itu sekarang? Jika ia tidak belajar, Ibunya akan marah, Ibunya akan membuang atau mungkin membunuh Aurora.
Aurora ingin disayang Ibu dan Ayahnya, Aurora ingin dicintai mereka sepenuh hati. Aurora ingin dianggap ada. Aurora ingin seperti Bintang yang dulu selalu dibangga-banggakan.
Aurora ingin menjadi yang pertama.
Di mata Ibu dan Ayahnya.
Di sekolah.
Mungkin juga di ... dunia.
Sudah tiga tahun semenjak kepergian Bintang hidup Aurora berubah.
Dulu ia bebas, kini ia dituntut untuk melakukan apapun yang orang tuanya katakan.
Aurora menurut, agar ia bisa mendapat perhatian kedua orang tuanya, karena sejak kecil ia tidak pernah mendapatkan itu, hanya Bintang yang mendapatkan kasih sayang.
Aurora tidak pernah membenci Bintang sedikitpun, karena Bintang satu-satunya orang yang memberi kasih sayang pada Aurora di rumah.
Kadang Aurora ragu bahwa ia adalah anak kandung Ibu dan Ayahnya.
Apa kesalahan yang ia buat sehingga ia begitu diperlakukan tidak adil oleh Ibu dan Ayahnya sendiri?
Apakah kelahirannya tidak dinantikan?
Apakah kehadirannya tidak diinginkan?
Angkasa memeluk Aurora, ia paham emosi Aurora sedang meledak.
"Untuk kali ini, lo pikirin dulu kesehatan lo, nanti besok gue pulang sekolah, gue kesini, kita belajar bareng." Ucap Angkasa lembut.
Aurora menghembuskan napasnya. "Ma-maafin gue Kak."
Aurora mendorong Angkasa, Angkasa melepaskan pelukannya.
"Lo pulang aja, gue mau sendiri." Tatapan Aurora kosong lurus ke depan.
Apakah Angkasa harus meninggalkan Aurora saat keadaannya seperti ini? Bisa saja Aurora melakukan hal yang sama seperti Bintang kan?
Angkasa menggeleng. "Gue pulang kalau Bi Pipi dateng."
"Gue bil-"
"Oke, gue bakal tidur sebentar di sofa, kalau Bi Pipi dateng bangunin gue." Angkasa pindah ke sofa.
Aurora membaringkan tubuhnya ke kiri agar Angkasa tak bisa melihat wajahnya.
Ia terisak.
Kenapa Ibunya tidak kesini? Kenapa Ibunya tidak merasa bersalah?
Tidak, tidak. Ini semua karena kesalahan Aurora, harusnya ia pergi ke sekolah, bukan membolos. Harusnya ia belajar, bukan menghabiskan waktu di rumah Angkasa.
Hari ini terasa lebih panjang dari biasanya.
👑👑👑👑👑
Bersambung ...
👑👑👑👑
KAMU SEDANG MEMBACA
Angkasa ✔ (Completed)
Fiksi RemajaCover by @naaverse Idea by @naaverse And Quotes by @naaverse ⚠️⚠️⚠️⚠️⚠️ Keana Aurora Adalah dedara Masa depan membuatnya membara Ia ingin naik sampai puncak menara Banyak sengsara Sedikit gembira Ingin selalu menjadi juara Tapi selalu merasakan lara...