🌙🌙🌙🌙🌙
Kamu tidak tahu apa yang sebenarnya saya rasakan. Jangan jadikan saya sebagai panutan.
Saya gagal.🌙🌙🌙🌙🌙
"Kamu jangan kayak Kakak Ra." Bintang merangkul adiknya.
"Aku mau kayak Kak Bintang. Kak Bintang itu disayang Ibu, Ayah, Nenek, Kakek. Kak Bintang juga pintar, baik."
Aurora iri pada Kakaknya, tapi ia juga sayang pada Kakaknya karena Aurora merasa hanya Kakaknya satu-satu yang ia punya, yang menganggap Aurora itu ada.
"Kamu bakal ngerti suatu saat nanti." Bintang menatap kosong kolam renang dihadapannya.
"Kamu harus hidup sesuka kamu." Bintang melanjutkan ucapannya.
"Aku kan mau kayak Kak Bintang." Aurora mengerucutkan bibirnya. Tak mengertikah Bintang bahwa ia adalah panutan Aurora.
"Kamu boleh jadi apa aja, asal jangan jadi seperti Kakak." Mata Bintang berubah menjadi tatapan tajam, walau tidak menatap Aurora tapi Aurora bisa merasakan amarah yang dirasakan Kakaknya.
"Kak Bintang jangan tinggalin aku!" Aurora terbangun. Keringat mengalir dari dahinya. Mimpi itu lagi! Hampir setiap minggu ia selalu bermimpi tentang Kakaknya minimalnya satu kali.
Aurora mengusap wajahnya ketika melihat jam dinding menujukkan pukul dua dini hari.
Dan ia menengok kanan kiri, merasakan bahwa badannya pegal. Yang benar saja, bagaimana bisa kini ia tidur di lantai? Hampir saja memasuki kolong kasur.
Aurora bangun, merapihkan buku dan alat tulis yang berserakan. Ia merebahkan dirinya di ranjang sambil menatap langit-langit kamarnya.
"Apa jadinya ya kalau Kak Bintang masih hidup?" Gumamnya.
"Kak Bintang masih hidup!" Serunya.
Aurora duduk bersila di ranjangnya menghadap jendela, ia membuka jendela itu.
Ketika ia membuka jendela ia disambut oleh angin dan pemandangan langit yang menakjubkan, penuh Bintang.
Ia menunjuk langit seperti bocah. "Kak Bintang masih hidup! Tapi jauh banget! Sini Kak! Temenin gue!" Ia melambai-lambaikan tangannya pada lanngit sambil tersenyum.
"Kak Bintang ada di Angkasa."
"Aurora juga ada di Angkasa."
"Angkasa."
"Angkasa Brahtama Samudra." Ucapnya tanpa sadar.
Aurora merutuki mulutnya sendiri. Bisa-bisanya ia menyebut nama lelaki itu bahkan hafal nama panjangnya! Ia tahu nama panjangnya dari Retta, Retta memberi tahu sendiri, bukan ia yang bertanya.
"Angkasa itu ... katanya secerdas Einstein. Gue jadi penasaran. Angkasa sama Kak Bintang cerdasan siapa?" Aurora menaruh dagunya di jendela.
"Fly me to the moon. And let me play among the stars." Aurora bersenandung kecil sambil memejamkan matanya hingga ia terlelap.
🌙🌙🌙🌙🌙
"Pasti lo Aurora." Seorang lelaki bertubuh tinggi menghalangi Aurora yang sedang membaca buku dari sinar mentari pagi.
Aurora membaca name tag yang menepel di seragam lelaki tersebut.
Angkasa B Samudra
Aurora tidak begitu terkejut dengan kedatangan Angkasa. "Pasti lo tahu gue dari Retta."
"Eh kok tahu?" Angkasa duduk di sebelah Aurora, kini mereka berdua sama-sama terkenal sinar mentari pagi.
"Lihat, lo baca apa?" Dengan sok akrab Angkasa menyambar buku yang sedang dibaca Aurora.
"The Story Of Mars? Kirain lo baca buku pelajaran tentang biologi atau fisika gitu. Ternyata novel." Angkasa manggut-manggut sendiri.
Salah satu kebebasan Aurora di Sekolah adalah ia bisa membaca buku selain buku pelajaran.
Pernah sekali ia ketahuan membaca novel oleh orang tuanya. Mereka langsung membakar semua novel milik Aurora yang Aurora umpatkan di kolong ranjangnya, memang sejekam itu.
Karena tidak mau terulang lagi Aurora menyuruh Retta untuk membelikannya novel, setelah Aurora baca Retta yang menyimpan novelnya.
"Balikin Kak." Pinta Aurora datar.
"Oh iya nih, maaf ya gue nggak sopan." Angkasa menggaruk tengkuknya. Angkasa mengembalikan novel itu pada Aurora.
"Katanya lo terobsesi banget sama belajar? Tapi lo gagal jadi yang pertama?"
"Gue nggak terobsesi, belajar itu kewajiban pelajar kan?" Elak Aurora.
"Ya, tapi apa lo nggak stres atau pusing gitu? Gue bisa jadi guru les lo kok kalau lo mau, gue kasih caranya biar lo bisa jadi yang pertama kayak gue!" Angkasa memukul-mukul dadanya dengan bangga.
"Asal lo tahu aja guru les gue itu -"
"Lulusan S2 di Harvard." Angkasa memotong ucapan Aurora.
"Tuh lo tahu."
"Oh iya! Kita belum kenalan secara resmi!"
Angkasa mengulurkan tangannya. "Kenalin nama gue Angkasa Brathama Samudra, gue rangking 1 di kelas dan angkatan gue, gue Ketua Osis plus pentolan Sekolah ini. Dan kecerdasan gue setara dengan Einstein."
Aurora menghembuskan napas, ia dongkol. Pasti Retta yang menyuruh Angkasa seperti ini. Aurora menerima uluran tangan itu. "Keana Aurora."
"Wah nama lo bagus amat kayak masa depan gue!"
Aurora mengernyit. "Yang begini dibilang setara dengan Einstein?" Ucapnya dalam hati.
Aurora memberi tatapan aneh pada Angkasa. Aurora kira Angkasa adalah sosok yang cool, irit berbicara dan yang jelas tidak norak seperti ini!
Ditatap aneh oleh perempuan disebelahnya, Angkasa menaikkan kedua alisnya sambil sedikit tersenyum, senyum kikuk.
"Kalau lo beneran mau belajar sama gue, lo bisa hubungin nomor ini, gue pergi dulu ya? Kayaknya lo nggak suka sama kehadiran gue sekarang, ah salah lebih tepatnya belum suka." Angkasa memberikan secarik kertas yang kini sudah berada di tangan Aurora.
Angkasa pergi meninggalkan Aurora sendiri lagi di kantin. Karena merasa bel masuk akan berbunyi beberapa menit lagi Aurora juga memutuskan untuk pergi ke kelas.
Ketika sampai di kelas, tujuan utama Aurora saat ini adalah Retta. Ia berjalan cepat menuju bangku Retta yang merupakan bangkunya juga, karena mereka duduk bersama.
Retta yang sedang asyik memainkam ponsel sambil mengipas-ngipas dirinya terlonjak kaget ketika Aurora menggebrak meja. Bukan Retta saja yang kaget, tapi seluruh orang yang ada di kelas.
Retta hanya tersenyum tanpa dosa, ia tahu kenapa Aurora menggebrak meja. "Sorry."
"Sorry-sorry pala lo!" Aurora menatap sinis Retta.
"Kak Angkasa ganteng kan?"
"Tapi dia nggak setara sama Einstein!"
"Yah! Lo sih belum tahu kecerdasannya! Orang kayak Kak Angkasa adalah orang cerdas yang sesungguhnya."
"Ter - se - rah!" Ketus Aurora lalu duduk di bangkunya.
🌙🌙🌙🌙🌙
Bersambung ...
🌙🌙🌙🌙🌙
KAMU SEDANG MEMBACA
Angkasa ✔ (Completed)
Fiksi RemajaCover by @naaverse Idea by @naaverse And Quotes by @naaverse ⚠️⚠️⚠️⚠️⚠️ Keana Aurora Adalah dedara Masa depan membuatnya membara Ia ingin naik sampai puncak menara Banyak sengsara Sedikit gembira Ingin selalu menjadi juara Tapi selalu merasakan lara...