🌜44.🌛

2.3K 144 4
                                    

🐳🐳🐳🐳🐳

Aku senang kamu memberikan rasa nyaman yang luar biasa. Tapi jika terus bersamaku, tidak ada jaminan kamu tidak menderita.

🐳🐳🐳🐳🐳

Ayahnya sudah berjanji pada Aurora jika ia ingin memberi kebebasan untuk Aurora. Dan Ayahnya menepati janjinya.

Pulang sekolah Aurora berencana mengikuti Angkasa. Istirahat tadi Aurora melihat Angkasa ditelepon oleh seseorang, wajah Angkasa sangat marah, yang bisa Aurora dengar dari mulut Angkasa hanya "Oke, pulang sekolah."

Aurora merapihkan bukunya gelisah, perasaannya tidak enak.

Sejujurnya rasa rindu Aurora memang lebih besar daripada rasa kecewanya. Apa katanya? Rindu? Aurora mentertawakan dirinya sendiri dalam hati.

🐳🐳🐳🐳🐳

"Pak ikutin motor itu, nanti saya bayar dua kali lipat deh."

Taksi yang ditumpangi Aurora mengikuti Angkasa.

Sampai didepan gedung bekas Mall yang terbakar. Aurora menganga, untuk apa Angkasa kesini? Sendirian?

Aurora keluar dari taksi, ia meminta pada supir taksi untuk menunggunya. Awalnya supir taksi melarang Aurora turun karena katanya bahaya.

Aurora mengumpat di dalam tong- besar yang tak jauh dari Angkasa dan beberapa lelaki yang mungkin sebaya dengan Angkasa.

Jantungnya berdegup kencang, Aurora takut. Siapa mereka dan mau apa dengan Angkasa?

"Punya nyali juga lo." Suara lelaki yang tak dikenal Aurora menggema.

"Gue bukan pengecut kayak kalian yang mainnya keroyokan." Angkasa. Itu suara Angkasa!

Aurora makin panik, tangannya keringat dingin. Bagaimana jika Angkasa diserang mereka? Kenapa Angkasa mau saja dipancing ke tempat seperti ini?

"Udah gue bilang jauhin Aurora! Lo makin menderita kan sama dia?"

Aurora menyembulkan kepalanya mengintip. Matanya berkaca-kace manatap punggung Angkasa. Namanya disebut-sebut, Aurora sudah tahu kenapa Angkasa ada disini.

Karena dirinya.

Seperti yang dikatakan oleh Venus pagi itu.

Aurora hanya membuat Angkasa celaka seperti sekarang.

Suara tawa, bahakan, kekehan menggema di ruangan tak terpakai ini. Mereka semua mentertawakan Angkasa yang sedang diserang dengan berbagai pukulan.

Aurora menangis.

Ia tidak bisa melakukan apa-apa untuk Angkasa.

"JAUHIN AURORA! LO SAMA AURORA SAMA-SAMA MENYEDIHKAN! LO MAKIN MENDERITA SAMA DIA! GUE CUMA KASIHAN SAMA LO!"

Tangis Aurora semakin keras, Aurora menutup mulutnya sendiri agar tidak menimbulkan suara.

"GUE NGGAK TAHU KALIAN SURUHAN SIAPA. TAPI GUE NGGAK MAU!" Angkasa berteriak padahal tenaganya hampir habis.

Aurora makin panik ketika ada rombongan preman datang sambil berlari.

Jika seperti ini, Angkasa akan mati konyol disini.

Aurora memberanikan diri untuk mengintip lagi.

Preman itu ... ada dipihak Angkasa.

Mereka menyerang orang yang menyerang Angkasa.

Tidak butuh waktu lama. Orang-orang yang menyerang Angkasa berlari keluar.

"Bangun, bawa dia ke Rumah Sakit." Salah satu preman itu tiba-tiba dibelakang Aurora.

Aurora keluar dari tong besar itu.

Ia mengikuti preman yang membopong Angkasa.

Angkasa dimasukkan ke taksi yang menunggu Aurora.

"Ra sejak kapan lo datang? Preman tadi? Lo yang bawa." Angkasa bertanya lirih. "Gue nggak apa-apa." Tangan Angkasa mengulur, niat ingin mengusap Aurora tapi karena energinya hampir habis, tangannya jatuh melayang.

"Diem! Jangan ngomong! Bibir lo sobek." Aurora menangis histeris sambil menatap Angkasa.

"Gue mau jauhin lo, bukannya ngga maafin lo. Lo celaka kalau deket-deket sama gue." Aurora sesenggukkan.

Angkasa terkekeh, ia masih bisa tersenyum.

"Jangan nangis, muka lo kaya kepiting rebus." Niat ingin menghibur, Aurora makin-makin sesenggukkan.

Aurora memegangi wajahnya sendiri. Kapan terakhir ia menangis histeris seperti ini? Mungkin saat kehilangan Bintang.

Aurora sadar, Angkasa itu punya penyakit jantung dan ia berjanji akan menemani Angkasa sampai lelaki itu menutup mata untuk selamanya.

"Ra ... makasih ya." Ucapnya terakhir sebelum Angkasa benar-benar kehilangan kesadaran.

🐳🐳🐳🐳🐳

Aurora terus menangis didepan ruang operasi Angkasa. Beberapa tulang di punggung Angkasa patah, jadi harus dioperasi.

Ia menangis dipelukan Mamanya Angkasa yang sama-sama menangis.

Athala berdecak, perempuan memang memiliki hati yang lembut. Tetapi tidak perlu dibesar-besarkan seperti ini juga. Athala yakin kakaknya akan sembuh.

Karena Angkasa pernah mengalami sesuatu yang lebih parah dari ini.

Aurora pulang diantar oleh supir pribadi keluarga Angkasa, dengan Athala juga.

Sepanjang perjalanan Aurora memang sudah berhenti menangis, tapi ia masih terus terisak karena menangis terlalu lama.

Ia mengucapkan terima kasih pada Athala lalu turun dari mobil berwarna hitam itu.

Ibu dan Ayahnya menunggu Aurora di ruang tamu.

"Aurora habis kemana kamu? Kenapa kayak gini? Siapa yang bikin kamu kayak gini? Kenapa kamu nggak belajar?" Aurora hanya menatao datar Ibunya.

Ayahnya bertepuk tangan. "Aurora hebat lho, dia habis nolongin orang." Ayahnya tersenyum sambil menepuk pundak Aurora.

"Kamu mandi, terus makan malam ya." Ayahnya mengangguk, Aurora juga mengangguk.

🐳🐳🐳🐳🐳

"Kamu kenapa kayak gini Aurora?"

Ibunya terus bertanya kenapa, Aurora menggeleng tanpa minat. Bahkan ia juga sekarang tidak napsu makan.

"Nyonya ada telepon." Salah satu asisten rumah tangga mereka datang.

Ibunya pamit mengangkat telepon.

"Ayah." Panggil Aurora.

"Hm?" Ayahnya menoleh.

"Preman tadi suruhan Ayah kan?"

Ayahnya menggeleng.

"Makasih Ayah, kalau nggak ada preman-preman tadi mungkin Kak Angkasa udah mati."

"Maafin Ayah, Ayah khawatir sama kamu." Ayahnya mengelus kepala Aurora.

Aurora menggeleng, ia mulai menangis lagi. "Kalau ngga ada mereka, Kak Angkasa pasti mati."

Aurora tidak masalah jika Ayahnya mengirim orang untuk mengawasinya selagi orang itu tidak mengganggu Aurora, terlebih menyelamatkan Aurora seperti tadi.

🐳🐳🐳🐳🐳

Bersambung ...

🐳🐳🐳🐳🐳

Angkasa ✔ (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang