🍊🍊🍊🍊🍊
Ingin memutar waktu, berharap agar tidak berpikir bodoh seperti ini.
🍊🍊🍊🍊🍊
Video rekaman cctv Aurora dan Venus sudah tersebar. Mereka yang menyalahkan Aurora jelas-jelas merasa bersalah.
Justru mereka melihat Venus yang tidak sengaja menabrak Aurora terlebih dahulu sebelum jatuh karena tersandung kakinya sendiri.
Aurora memang mencoba menolong Venus tapi terlambat.
Angkasa menatap sebuah apel nanar. Ia sedang memotong apel untuk Venus. Venus sudah sadar sejak dua jam yang lalu. Tapi Angkasa belum bertanya apa-apa pada Venus.
Angkasa merasa bersalah, sangat-sangat bersalah. Mungkin sekarang Aurora yang marah padanya.
"Ven, lo jatuh kenapa?" Angkasa menyerahkan apel yang sudah ia potong.
Venus terkekeh. "Kesandung."
Angkasa menelan ludahnya. Rekaman itu bukan editan kan?
"Kok bisa? Aurora nggak ngedorong lo?"
"Gue buru-buru. Aurora?" Venus mengernyit. "Ah, gue denger dia teriak panggil nama gue sebelum dia pingsan, kayaknya dia mau nolongin gue tapi gue udah jatuh duluan."
Wajah Angkasa memucat, kepalanya pusing. Dadanya bergemuruh, sakit. Napasnya sesak. Apa yang harus ia lakukan sekarang? Kenapa tadi ia tidak berpikir dengan tenang sehingga bisa-bisanya menyalahkan Aurora?
"Banyak yang nuduh Aurora ngedorong lo." Angkasa panik.
Venus mengernyit lagi. "Lo ... lo pasti nuduh Aurora juga?"
Angkasa menunduk, lalu mengangguk pelan. "Gue harus gimana." Gumamnya.
Venus menepuk pundak Angkasa. "Minta maaf, gue tahu rasanya ngga dipercaya gimana."
🍊🍊🍊🍊🍊
"Leo, Retta, makasih." Aurora menoleh ke samping kanan kirinya bergantian.
Mereka bertiga sedang duduk dipinggir lapangan pasar malam.
"Gue percaya lo orang baik, baik banget." Retta merangkul Aurora sambil tersenyum lebar.
"Katanya Kak Venus udah sadar. Ah, betapa malunya ya orang-orang yang udah fitnah lo?" Leo tersenyum tipis.
Pulang sekolah, ia mencari rekaman cctv itu, dengan bantuan Retta dan beberapa teman sekelas lainnya juga saat Aurora ke rumah sakit.
"Gue benci banget sama Kak Angkasa! Awas aja kalau ketemu! Gue tonjok mukanya! Bisa-bisanya dia nuduh lo!" Retta menggeram, tangannya mengepal.
Aurora terkekeh. "Mungkin dia panik, Kak Venus itu kan mantannya."
"Pokoknya dia harus berlutut sama lo Ra."
Aurora tergelak kemudian ekspresinya seperti biasa lagi. "Udahlah biarin aja."
"Ra." Panggil Leo.
Aurora berdehem.
"Mulai besok sarapannya sama gue ya."
"Lo ngajak Aurora aja?! Gue ngga diajak." Protes Retta.
"Oke, bertiga." Leo mengangkat tiga jarinya.
Aurora menggeleng. "Kenapa harus sama kalian?"
Retta menoyor Aurora. Aurora menatap Retta tidak terima, ia mengelus dahinya.
"GIMANA KALAU RUMUS YANG GUE HAFALIN SELAMA INI HILANG!"
"HILANG AJA SEKALIAN! RUMUS MULU HIDUP LO! PANTES MUKA LO KELIHATAN RIBET KAYAK RUMUS!" Retta menjulurkan lidahnya.
"Retta." Aurora tersenyum miring.
"Ampun Ra!"
1
2
3
"LA ... RI!" Retta berlari ke dalam pasar malam, Aurora mengejar dengan penuh semangat.
Leo menghembuskan napasnya kasar sambil menggeleng-gelengkan kepala.
Retta memang paling bisa merusak suasana.
🍊🍊🍊🍊🍊
Bersambung ...
🍊🍊🍊🍊🍊
KAMU SEDANG MEMBACA
Angkasa ✔ (Completed)
Fiksi RemajaCover by @naaverse Idea by @naaverse And Quotes by @naaverse ⚠️⚠️⚠️⚠️⚠️ Keana Aurora Adalah dedara Masa depan membuatnya membara Ia ingin naik sampai puncak menara Banyak sengsara Sedikit gembira Ingin selalu menjadi juara Tapi selalu merasakan lara...