Prolog

26.6K 1.1K 20
                                    

Anindya POV

"Da ... ayo keluar," ujar Mbak Liana yang tak lain adalah kakak iparku. Aku menoleh ke arah wanita dengan kebaya marun itu. Ia tersenyum ke arahku, mengamit tanganku.

"Ayo keluar! Ares sudah menunggu kamu di depan," gumamnya sembari menarik lenganku lembut.

Lantas aku beranjak, mengekori langkahnya. Aku merasa terintimidasi ketika para keluarga memandangi kedatanganku. Bukan acara resepsi mewah dengan banyaknya tamu undangan, tetapi hanya acara sederhana yang dihadiri kedua belah pihak keluarga inti.

Mereka semua tersenyum, itu tandanya bahagia. Aku balas mengulas senyum tipis lalu menundukkan pandangan. Jantungku semakin memompa kuat saja rasanya. Mbak Liana mengantarku untuk duduk di samping mempelai pria.

Aku tidak berani sama sekali melihat wajah pria yang akan menjadi suamiku itu. Yang aku lakukan hanyalah memainkan jari di atas pangkuan. Suara Bapak Penghulu memecah keheningan.

"Baik, kedua mempelai sudah hadir. Saya akan memeriksa kembali data yang sudah tercantum di sini," ucapnya seraya membuka kembali berkas yang kami lampirkan ke KUA.

"Bismillahirahmanirahim, Bapak silakan berjabat tangan bersama mempelai pria!" titahnya kemudian.

Ya ampun ... apa aku boleh pingsan saja? Rasanya sudah tidak karuan.

"Saya nikah dan kawinkan engkau, Reswara Ahdian kepada putri saya Anindya Faizha dengan mas kawin cincin emas lima gram dan gelang dua puluh lima gram dibayar tunai!" kata ayah dengan lantangnya.

Belum sempat aku bisa bernapas, suara balasan dari pria di sampingku membuat ragaku semakin membatu. “Saya terima nikah dan kawinnya Anindya Faizha binti Suharta dengan mas kawin cincin emas lima gram dan gelang dua puluh lima gram dibayar tunai.”

"Bagaimana para saksi?" Seketika suara 'sah' menggema memenuhi ruangan, memenuhi indera pendengaranku.

Aku hanya bisa berusaha meredam detak jantungku yang sedari tadi berdentum bak genderang. Apa baru saja aku menjadi istri dari seorang lelaki?

"Alhamdulillah ...." Hamdallah itu diikuti beberapa doa lainnya.

"Salim dulu sama suaminya!" titah penghulu.

Sedikit aku meliriknya kemudian mengangguk. Lantas aku berbalik menghadap suamiku dan mengamit tangannya yang sedikit terulur ke arahku.

"Sekarang dicium kening istrinya!" Perkataan itu mampu membuatku kembali membeku. Aku harap, aku tidak mati rasa setelah ini karena terlalu banyak membeku dan membatu.

Tampak pria di hadapanku juga melakukan hal yang sama. Ragu-ragu dia menarik kedua sisi wajahku dan mengecup di kening. Mataku mengerat, seperti ingin menangis saja rasanya.

***

Setelah mengantarkanku pindah ke rumah 'suami' ...; ayah, mama mertua, dan papa mertua langsung berpamitan. Sedangkan di rumah ini tinggal kami saja berdua. Aku duduk canggung di sebelahnya, tak berniat mengatakan apa pun.

"Sebaiknya kamu membersihkan diri terlebih dahulu," ujarnya. Aku sedikit meliriknya yang ternyata sedang menatapku.

"I-iya, Pak." Aku beranjak seraya menyeret koper yang berisikan barang-barang milikku.

Bukan tanpa alasan aku menyebutnya dengan embel-embel 'bapak' begitu, karena memang dia adalah guruku. Di SMA tempatku sekarang ini bersekolah lebih tepatnya. Aku masih sekolah, tetapi bukan menikah karena sebuah insiden. Lagipula ... dia itu guru Pendidikan Agama Islam. Reswara, atau sering kali panggilannya Ares. Perlu diakui jikalau dia memiliki kharisma dan rupa yang jauh dari kata nol, apalagi minus.

Rumah yang terlihat sederhana dengan satu ruang tamu, dua kamar tidur, satu kamar mandi, satu dapur, dan halaman kecil di belakang ini terasa mencerminkan sang pemilik. Satu tahun mengenalnya sebagai guru dan sekarang ... suami. Sungguh tidak terpikirkan pada awalnya.

Saat itu ayah mendeklarasikan akan segera menikahkanku dengan seseorang. Bukan putra sahabat karibnya, hanya seorang teman dari masa lalu. Aku juga tidak begitu mengenal Pak Ares. Terlebih ... aku tidak terlalu menonjol dalam pelajarannya. Usai berpakaian, aku keluar lalu menyeret koper menuju kamar kedua. Namun, sebuah cekalan tangan menahan koperku.

"Tidak baik kalau suami istri tidak tidur bersama," gumamnya seraya menatapku. Sedangkan setengah mulutku ternganga dibuatnya.

"Kalau kamu menguap, tutup dengan tangan! Jangan dibiarkan terbuka.” Langsung aku merapatkan bibirku seketika.

"Jadi ... saya harus tidur di kamar Bapak?" tanyaku hati-hati.

Pak Ares diam memandangiku lalu mengangguk kecil. Ia balik menyeret koperku ke arah kamarnya. Perlahan aku menjejak menapak ke dalam kamar. Kamarnya juga terlihat biasa. Hanya ada kasur, lemari baju, rak, dan meja kerja. Di dinding pun hanya ada beberapa foto bersama kawan-kawannya.

"Barang-barang dibereskan besok saja. Saya mandi dulu," ujarnya seraya melenggang keluar.

Aku terlalu sibuk berkeliling pandang, sampai tidak menyadari bahwa ia sudah mengambil perlengkapannya. Langkahku mendekat ke tempat tidurnya lalu duduk. Tiba-tiba pikiranku berkelana dan bertanya-tanya. Apakah malam ini Pak Ares akan meminta haknya? Apakah kami akan melakukan sebagaimana pasangan suami istri lakukan? Oh ayolah, aku ini sudah kelas tiga SMA, dan sudah belajar banyak mengenai hal seperti itu.

Wajahku seketika rasanya memanas. Lantas aku mengipasi wajah dengan tangan, berusaha mengatur detak jantung yang sangat tidak karuan. Aku mungkin harus menjelaskan baik-baik kepada Pak Ares bahwa aku masih belum siap.

Tidak berselang lama pintu itu terkuak. Jantungku semakin melompat-lompat rasanya ketika Pak Ares berdiri di ambang pintu. Aku berdiri seraya memainkan jari-jari tangan.

"P-Pak?" Seketika aku menjadi gagap. Ia bergumam balas menatapku.

"Saya boleh minta tolong antar ke minimarket?"

"Untuk apa?"

"Beli ... keperluan." Aku menggaruk tengkuk tak gatalku.

Sepertinya Pak Ares mengerti. Dia langsung mengantarku pergi ke minimarket terdekat. Dalam hati aku merasa bersalah karena sudah berbohong kepadanya. Maafkan murid sekaligus istrimu ini pak ...!



***
Mon maaf, klise~ tapi tolong tinggalkan jejakkk🤩 Revisi dikit2, dibaca ulang yuk🎈

Cinta Guru Agama (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang