Anindya POV
Aku dan Siska sengaja pergi ke perpustakaan sepulang sekolah. Kebetulan kami dibubarkan pada pukul sepuluh pagi. Jadi ada waktu untuk pergi ke tempat itu. Ya ... itung-itung juga menunggu Mas Ares rapat.
Aku bermaksud mengganti novel yang sudah habis terbaca. Namun, entah pergi ke arah mana Siska kini.
Ketika jemariku bergeser menyusuri buku-buku yang berjajar rapi di rak, tanganku tidak sengaja bersentuhan dengan tangan lain. Ternyata Ivan. Dia malah nyengir kuda. Refleks aku memukul jemarinya dengan buku yang aku pegang.
"Awwh, sakit tau," gerutunya seraya menarik tangan.
"Gue kaget," geramku seraya menjauh darinya.
Aku duduk di salah satu bangku dan membaca novel yang kudapat.
"Ngapain lo?" tanyaku ketika Ivan justru duduk di bangku sebelah.
Kalau Mas Ares melihat ... pasti akan terjadi kesalah pahaman.
"Nemenin aja. Sendirian 'kan?" Ia setengah berbisik.
"Jangan gangguin Inda!" ketus Siska ketika sudah berada di samping Ivan. Yang ditatap malah bertampang tak berdosa.
"Ja-ngan gang-gu In-da!" Ia menekankan kalimat itu sekali lagi, sambil menatap garang.
"Gue gak ganggu. Cuma mau nemenin aja," sangkalnya.
Padalah menurutku, dia itu sangat mengganggu.
"Sekarang ada gue. Jadi ... mendingan lo pergi sana," usir Siska dengan raut senyuman paksa.
Bukannya terlihat manis, justru malah tampak menakutkan. Melihat Ivan yang tidak mau beranjak, lantas aku menarik tangan Siska untuk keluar, sampai lupa bahwa novel baru itu tidak aku bawa.
Bergegas kami menuruni anak tangga dan memilih untuk pergi ke kantin saja. Sangat disayangkan ketika kembali mengingat buku tadi tidak sempat aku bawa. Namun, kembali lagi? Aku tidak mau melihat Ivan.
"Sore nanti mau barengan gak?"
"Gak tau. Kayaknya bareng Mas Ares sih." Untuk kata yang terakhir itu aku berbisik kecil. Takut jika dinding kantin menguping.
"Memangnya lo mau jenguk Titi jam berapa?" tanyaku balik.
Ya ... Titi memang katanya hari ini sakit. Jadi dia tidak masuk sekolah. Dan niatnya kami mau menjenguk sore ini.
"Ya ... kalau gue gak mager di rumah," kekehnya.
Aku jadi ikut terkikik kecil. Di tengah gurauan kami berdua, sebuah buku mendarat di meja hadapanku. Tawaku memudar, berganti kerutan kening yang kentara terlihat.
"Buku novelnya ketinggalan. Udah gue pinjem atas nama gue. Nanti pas tiga hari, bilang aja ... biar gue perpanjang garansinya." Setelah mengatakan hal itu Ivan pergi lagi.
Sebenarnya dia itu kenapa? Kadang bertindak biasa, kadang cuek, menyebalkan, angkuh, tapi ... terkadang aneh, baik, dan sok romantis.
"Bebeb lo kapan selesai raapatnya sih?" bisik Siska. Aku balas mengerdikkan bahu.
"Ckk, coba kalau gue yang mimpin tuh rapat. Gak sampai lima menit, udah bubaran."
"Gak yakin gue," cibirku.
"Bukannya dukung gue. Kali aja nanti bisa jadi orang nomor satu," kekehnya. Aku juga ikut tertawa mendengar hal itu.
"Aamiin ... semoga cita-citanya Siska tercapai Ya Allah, semoga kelak ia tidak diberi kesombongan, semoga ia menyayangi rakyatnya, terutama tidak menyusahkan ... hamba-Mu ini."
"Doa sih bagus. Tapi kalimatnya kok berasa gue berdosa banget ya." Raut wajahnya dibuat-buat sedih.
***
Seperti janji, sore ini aku dan Siska janjian untuk menjenguk Titi. Tapi aku harus bagaimana? Orang tua Titi tahu Mas Ares adalah guru di sekolah kami, dan mereka juga tidak tahu kami memiliki hubungan.
"Kamu ke rumah Titi bareng Siska aja," sahutnya ketika aku menjelaskan keadaan, guna mendapat solusi.
"Terus Mas Ares gimana?" Aku khawatir dengan keadaannya.
"Biar Mas tunggu di warung kopi depan aja."
"Memangnya gak apa-apa?" Aku merasa tidak enak hati meninggalkannya seorang diri.
"Nanti telepon kalau udah selesai. Atau whatsapp aja." Aku mengangguk dan mengambil alih parcel yang berada di genggamannya.
"Mas hati-hati ya," pesanku.
"Iya, kamu juga." Aku melangkah satu kali, dan membalik ke arahnya.
"Jangan ganjen sama cewek lain, awas!" ancamku membuatnya tertawa geli.
"Nggak, Sayang." Mendengar itu rasanya jantungku benar-benar sudah turun sampai ke mata kaki.
Setelah sampai di depan rumah Titi, aku dan Siska dipersilahkan masuk oleh ibunya. Katanya keadaan Titi sudah mulai membaik. Dia hanya terkena flu saja.
"Mana laki lo?" Pertanyaannya langsung terarah pada hal itu ketika ibunya pergi untuk mengambil air minum.
"Pak Ares di warung kopi depan sana," jawabku setengah berbisik.
Seketika matanya terbelalak.
"Hati-hati lo, di sana suka ada cabe-cabean nongkrong." Wajah Titi kali ini tampak serius. Kedua bola mataku juga hampir menggelinding rasanya.
"Beneran Ti? Lo gak becandain gue, 'kan?" Aku setengah panik.
"Coba telepon atau WA kek," titahnya.
Lantas aku coba menghubungi Mas Ares lewat panggilan telepon juga whatsapp. Namun, pesan-pesan yang aku kirim hanya bercentang dua berwarna abu. Dia juga tidak sedang online.
Dengan segera aku pamitan kepada ibu Titi, berbohong tentang urusan yang sangat mendesak dari Mas Didit.
Setengah berlari aku melewati jalanan kompleks perumahan itu. Dan ketika sampai di depan, ternyata Mas Ares tengah mengobrol bersama bapak penjaga warung.
"Kamu udah pulang?" Ia bertanya ketika menyadari kehadiranku di sana.
"Wah ... pacarnya cantik ya, Mas. Kalau begitu saya izin permisi ke belakang dulu," pamit bapak itu.
Aku masih terdiam mematung beberapa meter darinya. Melihat tingkahku lantas Mas Ares beranjak mendekat.
"Kamu gak enak badan?" Ia menempelkan punggung tangannya di dahiku.
"Mau pulang sekarang? Inda ...?" Aku masih terdiam menatapnya.
Tunggu dulu! Apa ini hanya kerjaan Titi semata? Apa jangan-jangan ... mereka berdua sedang menertawakanku saat ini.
"Inda?" tegurnya membuatku tersadar.
"Pulang sekarang?" Aku hanya mengangguk.
Di sepanjang perjalanan aku hanya diam. Dengan pikiran-pikiran tadi berseliweran di benakku. Apa memang hanya bapak itu ... atau ada wanita sebelumnya? Tidak tahu kenapa, aku mengeratkan pelukanku dari belakang.
"Ada apa?" tanyanya menyadari perubahan sikapku.
"Jangan lirik wanita lain selain aku ya, Mas," lirihku sembari menyandarkan kepala di punggungnya.
Bisa aku rasakan jika ia mendesah kecil.
"Gak akan."
Bersama dengan itu, tangan kirinya menungkup tanganku yang melingkar di pinggangnya.
***
Jangan lupa voment ya🎈
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Guru Agama (TAMAT)
Fiksi RemajaReswara adalah seorang guru Pendidikan Agama Islam yang dijodohkan dengan Anindya---gadis yang tak lain merupakan anak didiknya sendiri. Keduanya tidak bisa menolak perjodohan tersebut dan harus menerima dengan lapang dada. Namun, bisakah cinta tumb...