Part 9 Salah Paham

7.4K 600 2
                                    

Anindya POV

"Apa kamu merasa terkekang dengan keadaan sekarang ini?" Aku melerai pelukannya dan menatap dia tak habis pikir.

"Maksudnya?" Bukannya menjawab, Mas Ares malah menunduk lesu.

"Maksud saya ... pernikahan ini."

Apa dia ingin menyudahi semua ini? Dan ... ingin meninggalkanku? Kelopak mataku rasanya kembali memanas, ingin mengeluarkan tangis seketika. Dadaku naik turun, coba meredam amarah dan getaran tubuh.

Aku kesal dan memilih untuk pergi dari sana. Kutarik satu bantal dan melenggang ke luar kamar. Bahkan kini Mas Ares tidak mau mencegahku pergi. Apa dia memang sudah benar-benar bulat memiliki keputusan itu?

Aku telungkup di sofa ruang tengah ... dan kembali terseguk pelan. Rasanya ini lebih sakit daripada tadi. Kenapa ayah bisa menjodohkanku dengan pria seperti itu? Pria yang justru menghancurkan perasaan putrinya.

Lagipula ... aku tidak meminta jodoh dari ayah. Aku hanya ingin hidup bersama orang yang aku cintai, begitu juga sebaliknya. Kalau sudah begini, jadi malah teringat almarhumah ibu rasanya. Sekarang harus bagaimana? Bahkan aku juga merasa bingung sendiri.

Apa baginya, pernikahan tak lebih penting daripada sekedar sebuah perasaan? Atau mungkin ... dia memang sebenarnya tidak menganggapku lebih dari seorang murid.

Aku masih terisak seorang diri. Bahkan untuk sekarang, pria itu tidak ada niatan untuk menenangkanku sedikit pun.

Aku semakin merasa hancur dan marah. Tidak ada sesiapa pun yang bisa menopang kesedihanku saat ini.

"Ibu ...," ucapku di sela-sela isak tangis.

Beberapa saat berlalu aku sudah berhenti menangis, walau masih dalam posisi yang sama.

Terdengar langkah kaki mendekat ke arahku, tetapi aku berpura-pura tertidur dalam posisi itu.

Sebuah selimut mendarat menutupi permukaan tubuhku ... tanpa sepatah kata pun. Merasa geram, aku menendang selimut itu sampai melorot ke lantai.

Terdengar ia membuang napas kasar, lalu kembali membetulkan selimutnya. Lagi, aku mendendang selimut itu. Akhirnya Mas Ares diam, tidak membetulkannya lagi. Mungkin ia lelah dengan perilakuku.

Entah mulai kapan aku menyeberang ke alam mimpi. Namun, ketika terbangun di tengah malam, selimut itu kini sudah berada pada tempat yang seharusnya lagi. Tidak tahu kapan Mas Ares kembali menyelimutiku. Sepertinya ketika aku benar-benar sudah terlelap.

"Apa dia gak ada niatan buat pindahin aku ke kamar?" gerutuku.

Aku membuang napas kasar kemudian bangun. Namun, betapa terkejutnya aku ketika melihat seseorang tergeletak di lantai depan sofa. Berbekal sarung menyelimuti tubuhnya yang meringkuk kedinginan. Melihat itu rasanya iba. Namun, pertanyaan bodohnya tadi malah kembali terputar di benakku. Rasanya ingin kucakar wajah itu seketika.

Matanya mengerjap dan perlahan bangun.

"Inda?" gumamnya yang tidak aku pedulikan.

Aku beranjak, membawa bantal untuk pindah ke kamar.

"Dengerin Mas dulu," lirihnya seraya menahan lenganku.

Akhirnya aku duduk kembali di atas sofa. Lain halnya dia yang masih duduk di karpet.

"Inda ...?" Ia mencoba menelisik pandanganku. Aku coba membuang pandangan.

"Sebenarnya Mas gak mau kehilangan kamu. Tapi di satu sisi, Mas juga gak bisa memaksakan kehendak."

Aku beranikan menatapnya yang duduk di dekat kakiku.

"Aku gak suka pertanyaan semacam itu." Napasku tercekat rasanya.

"Maaf," gumamnya.

"Seolah-olah, Mas itu ragu dan acuh tak acuh dengan hubungan ini."

"Mas sungguh menyesal sudah mengatakan hal itu."

"Apa buat Mas, pernikahan itu gak lebih dari sekedar candaan? Bukannya Mas sendiri yang bilang, kalau Allah sangat membenci perceraian?"

"Perceraian? Mas gak bermaksud membawa pembicaraan tadi ke arah sana," sangkalnya.

"Kalau bukan itu, apa lagi?"

"Maksudnya ... kalau kamu merasa keberatan, Mas bisa membebaskan kamu."

"Sama aja. Jangan buat aku jadi membenci Mas, hanya karena perkataan begitu. Aku ... sayang sama Mas Ares, dan bakalan nurut apa pun peraturan di rumah ini." Untuk yang terakhir itu, aku memelankan suara bahkan hampir tidak terdengar. Namun, sesudahnya malah terasa malu sendiri.

"Mas juga sayang sama kamu. Jadi ... jangan lirik laki-laki lain selain Mas ya," gumamnya disertai senyuman.

Aku mengangguk kecil. Mas Ares bangkit, duduk di sebelahku. Kini kami saling berhadapan ... canggung.

"Apa kamu sudah mencintai Mas?" Pertanyaan itu membuatku mematung. Apa benar?

"Gak tau. Aku belum bisa bilang cinta atau nggak. Tapi aku merasa senang, nyaman, merasa terlindungi waktu bareng sama Mas." Aku menggigit bibir bawah.

"Tapi ... aku juga nggak mau ditinggalin," lirihku seraya mendongkak menatapnya.

"Gak akan. Mas gak akan meninggalkan kamu Inda."

"Kita pelan-pelan aja menjalani hubungan ini. Mas gak mau terlalu memaksa, menuntut kamu menjadi seorang istri dalam waktu dekat ini."

"Mas mau berjanji buat gak ninggalin aku? Janji ya!" Aku mengulurkan jari kelingking ke hadapannya.

Tampak ia terkikik geli, lalu menautkan jari kelingkingnya.

"Janji, Sayang," kekehnya. Aku terhenyak dan memukul tangannya pelan.

"Jangan gombal," geramku yang hanya berbalas tawa kecil darinya.

"Katanya sudah sayang. Nanti kalau sudah cinta, panggilannya ya berubah cinta."

Tangan kanannya terulur mengusap lembut pucuk kepalaku. Sepertinya aku memang sudah cinta, hanya saja malu untuk mengakuinya.

"Merah pipi dadakan tuh," tunjuknya pada wajahku.

Aku menarik tanganku dan menutup wajah.

"Cantiknya gak kelihatan." Ia coba menurunkan tanganku.

"Males ah, ngeselin!"

Aku beranjak dengan hentakan kaki yang dibuat-buat. Kenapa dia senang sekali menggodaku begitu? Padahal aku 'kan malu sekali.

"Inda, mau ke mana?"

"Aku mau tidur lagi, masih malam ini."

Aku hendak berbalik, hampir menabrak tubuh Mas Ares yang ternyata berada tepat di belakangku. Tadinya aku mau membawa bantal dan selimut yang tertinggal di sofa, tetapi Mas Ares ternyata sudah membawanya.

"Mau ke mana lagi?" tanyanya ketika aku hanya berdiam diri.

"Tadinya mau ngambil itu, tapi udah dibawa sama Mas," jelasku.

Ia hanya ber-oh kecil kemudian berjalan melewatiku.

"Sekarang sudah Mas bawa, tinggal kamu tidur aja lagi," ucapnya tanpa menoleh lagi.

"I-iya. Terima kasih."

Aku turut berjalan mengekorinya.

Mas Ares tidur terlentang, sedangkan aku menghadap ke arahnya. Apa tidak ada ucapan selamat malam, selamat tidur, mimpi indah? "Mas-"

"Ah, iya," gumamnya tiba-tiba.

Belum sempat aku berkata apa-apa, Mas Ares tiba-tiba mendaratkan kecupan manis di keningku.

Tentu saja hal tersebut membuat perasaanku campur aduk. Kenapa dia senang sekali tiba-tiba menciumku? Padahal kalau izin terlebih dahulu, aku bisa mempersiapkan jantungku supaya tidak melompat ke luar.

"Sekarang lebih baik kamu tidur lagi! Jangan sedih-sedih lagi ya," bisiknya dengan wajah yang kurasa terbilang cukup dekat.

Dia membuatku tidak bisa bernapas untuk beberapa saat. Sampai pada akhirnya ia kembali menjauh.

"I-iya."



***
Jangan lupa voment yaa🎈

Cinta Guru Agama (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang