Part 22 Gombal

5K 438 2
                                    

Anindya POV

Still in Yogyakarta

Aku merasa tidak enak atas pernyataan Mas Ares siang tadi. Alhasil ... aku merasa canggung ketika berada di dekat Ivan. Padahal kami tidak begitu dekat, tetapi entah kenapa aku merasa tak enak hati begini.

"Ada apa Da?" tanya Cahaya, salah satu teman sekamarku.

"Nggak."

Aku tidak bisa satu kamar dengan Siska dan Titi karena diurutkan berdasarkan absen kelas.

"Pasti lo gak senang ya, sekamar bareng gue?" rengutnya.

"Nggak. Gue seneng kok. Malahan ... di sini kan cuma lo yang gue kenal," jelasku.

"Iya ... yang bertiga 'kan dari kelas sebelah."

"Hush, jangan bicara kenceng-kenceng. Nanti mereka denger 'kan gak enak," tegurku membuatnya terkikik kecil.

Cahaya membuat gerakan menutup mulut.

"Kita berdua tidur di bawah aja ya?" usulku.

Cahaya melirik kasur yang tergelar.

"Boleh. Biar gak terlalu sumpek," sahutnya.

Lantas aku dan Cahaya mengambil barang bawaan kami.

"Kalian tidur di situ?" tanya salah satu siswi yang berbagi kamar dengan kami.

"Iya. Kalian di atas aja. Kita gak apa-apa kok di sini," sahut Cahaya.

"Duh ... tapi gue ngerasa gak enak. Nanti kalian ngerasa disingkirkan gara-gara kita beda kelas," gumamnya.

"Sama kita mah santai aja." Cahaya balas tersenyum, begitu pula aku.

"Gue Lara," ujarnya sambil mengulurkan tangan.

"Cahaya."

"Anindya."

"Gue senang bisa ketemu orang baik macam kalian berdua." Lara tertawa pelan.

"Gue juga senang bisa ketemu orang yang nggak enakan," balasku.

Lantas kami bertiga malah bercerita ini dan itu. Sesekali kami tertawa ketika Lara mengatakan kejadian lucu yang pernah dialaminya. Bahkan katanya terkesan memalukan.

Tok ... tok ... tok .... Pintu yang terbuka itu diketuk seseorang. Sontak kami menoleh.

"Sebentar lagi kita makan malam. Kalian, bersiap-siaplah," ujar Bu Widya.

"Baik, Bu," jawab kami serempak.

Sepeninggalannya, Lara malah langsung meng-ghibah.

"Gue takut sama Bu Widya. Dia itu galaknya minta ampun."

"Eh, gak diberi pengampunan kayaknya," sela Cahaya sambil tertawa kecil.

"Gak baik ngomongin guru. Apalagi ... kejelekan." Aku melerai peng-ghibahan keduanya.

"Kita bukan ghibah, tapi ... sedikit menceritakan kebenaran." Lara malah terbahak-bahak.

"Udah jam setengah tujuh nih, keluar yuk!" ajak Cahaya.

"Ayok!" Aku dan Lara mengikutinya beranjak.

"Inda ... gue kangen ...!" seru Titi sambil memelukku erat.

"Titi gue pengap." Aku berusaha melepaskan pelukannya.

"Tapi 'kan gue kangen. Andai kita bisa satu kamar."

"Tahan, cuma semalam." Siska menyela.

"Gue gak termasuk kangenan ya?" cibir Cahaya.

"Lo mau gue kangenin?" tanya Titi.

Cinta Guru Agama (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang