Part 4 Sisi yang Lain

10.2K 728 14
                                    

Reswara POV

"Assalamualaikum?" ucap seseorang dari depan.

"Waalaikumsalam."

Aku yang tengah membereskan meja lantas beranjak ke depan. Ketika pintu itu kubuka, ternyata Mbak Liana dan Mas Didit. Aku mengulas senyuman dan mengajak mereka masuk.

"Inda di mana?" tanya Mbak Liana.

"Di dapur," sahutku langsung membuatnya pergi kesana.

Hari sabtu ini, aku dan Inda sedang melakukan acara bersih-bersih rumah bersama. Mumpung libur.

"Duduk, Mas!" tawarku pada Mas Didit.

Ia malah merangkul pundakku dan membisikkan sesuatu, "Gimana waktu malam pertamanya?" Dia tersenyum jahil.

"Biar saya ambilkan minum, Mas," potongku sembari melenggang ke dapur.

Apa-apaan pertanyaan Mas Didit barusan? Bukannya aku tidak paham dengan maksudnya, tapi ... bukankah hal seperti itu tidak perlu dibahas? Jika pun kami memang sudah melakukannya.

"Inda ke mana, Mbak?" tanyaku ketika hanya melihat Mbak Liana.

"Toilet," jawabnya sembari melenggang ke depan. Aku hanya ber-oh dan membuatkan minum untuk mereka.

"Minum buat Mas Didit ya?" tanya Inda yang kini sudah berada di sampingku.

Aku balas mengangguk kecil.

"Tadi ngomong apa dia?"

"Gak ada," kilahku. Yang benar saja jika aku mengatakan hal itu padanya.

"Mas Didit itu gak usah didenger. Omongannya kadang suka konslet," kekehnya yang langsung aku tegur.

Aku tahu bagaimana kelakuan Mas Didit. Karena dia itu dulunya seniorku di kampus. Dan aku tidak menyangka kalau ternyata kami bisa bertemu lagi sebagai ipar. Dulu aku tidak pernah tahu tentang adiknya ini. Kenal dengannya pun hanya sekilas.

"Gak boleh begitu, dia itu kakak kamu." Aku mengambil teh hangat itu.

"Biar saya aja deh, Pak. Sekalian buat Mbak Liana." Inda mengambil gelas lain.

"Biar saya yang bawa minumnya, kamu bawa kuenya."

Aku mengambil alih pekerjaan Inda. Ia mengangguk dan mengambil kue di rak atas. Namun, Inda malah melompat-lompat kesusahan. Aku kasihan melihatnya, memilih untuk mengambil kaleng kuenya.

"Makasih," cengirnya membuatku turut tersenyum.

Aku dan Inda menyuguhkan apa yang ada. Untung saja kemarin malam gadis itu membeli setoples kue kacang.

"Maaf cuma ada ini," ujarku tak enak hati.

"Gak apa-apa. Gimana Inda sekolahnya?" tanya Mas Didit mengalihkan pandangan kepada Inda.

"Ya ... seperti biasa," jawabnya acuh.

"Terus gimana usahanya, Res? Lancar?" Kini Mas Didit balik menatapku yang duduk di sebelah Inda.

"Kemarin sempat ada masalah sih Mas, tapi alhamdulillah sekarang udah beres," jawabku membuatnya mengangguk-angguk kecil.

Tidak begitu lama mereka mampir, hanya menanyakan keadaan kami berdua dan selebihnya mengobrol ringan.

Setelah mengantar keduanya sampai teras, rumah ini kembali sepi. Aku membuang napas kecil dan membalik. Namun, tatapan tajam yang Inda tujukan kepadaku seketika membuat bulu romaku berdiri.

"Bapak kok gak bilang punya usaha tekstil sama aku?" protesnya.

"Saya mau bilang, tapi nunggu waktu yang pas." Aku berusaha menenangkannya.

Cinta Guru Agama (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang