Part 1 Sang Pendamping

15.1K 934 37
                                    

Reswara POV

Aku tidak pernah menyangka sebelumnya jika wanita yang menjadi pendampingku adalah anak didikku sendiri. Dia terlalu muda jika dibandingkan denganku. Gadis delapan belas tahun disandingkan dengan pria dua puluh enam tahun sepertiku. Namun, dengan menolak perjodohan itu membuatku seperti anak tidak tahu diri saja.

Aku bingung, menatap pantulan diriku dari cermin kamar mandi. Pantaskah jika aku meminta hakku sebagai seorang suami? Mengingat Anindya masih duduk di bangku sekolah, juga perjodohan yang mungkin masih sulit diterimanya ... sepertinya tidak. Aku harus memberikan waktu terhadapnya.

"Mau tidak mau, saya harus membicarakan ini dengannya."

Usai mematikan keran aku keluar dengan berpakaian lengkap. Sedikit ragu-ragu tanganku meraih handel pintu kamar lalu membukanya. Ternyata anak itu masih belum tidur. Ia bangkit, menatapku dengan tatapan anehnya. Seperti ingin mengatakan sesuatu, tetapi juga kelihatan bingung di saat yang bersamaan. Apa dia ....

"P-Pak?" Sejak kapan gadis cerewet itu berubah gagap? Aku balas bergumam.

"Saya boleh minta tolong antar ke minimarket?"

"Untuk apa?" Kedua alisku saling bertautan. Apa dia mau beli makanan?

"Beli ... keperluan," ujarnya seraya menggaruk tengkuk.

Ah, aku tahu. Langsung saja aku mengantarnya berjalan kaki, karena minimarket itu tidak begitu jauh dari rumah. Di sepanjang perjalanan Anindya hanya diam, begitu pun aku. Sampai di sana ia malah sibuk memilah-milih. Padahal 'kan kelihatannya sama saja. Setelah memasukkan satu bantal pembalut ke dalam keranjang, ia membalik ke arahku.

"Sudah?" Anindya mengangguk kecil.

"Gak sekalian beli makanan?" Sesaat ia mendongkak dengan raut wajah ragu-ragu.

"Memangnya boleh?" Aku mengangguk, membuatnya tersenyum. Dari tempat 'peralatan' wanita, kini kami beralih ke rak makanan ringan. Dia mengambil beberapa snack manis dan asin.

Usai berbelanja kami langsung pulang ke rumah. Melihat wajah Anindya yang tampak kelelahan membuatku merasa kasihan padanya. Namun, bukannya beristirahat tidur dia malah duduk di sofa dan menyalakan televisi.

"Kamu gak mau tidur?"

"Saya mau nonton TV sebentar, Pak. Bapak duluan aja. Nanti ... nanti saya nyusul." Untuk kalimat terakhirnya ia sedikit memelankan suara.

Baiklah. Aku pergi ke kamar dan tidur terlebih dahulu, karena aku merasa hari ini cukup menguras tenaga dan pikiran.

Entah berapa jam aku terlelap, tetapi ketika mataku terbuka tidak menemukan sosok gadis itu di ujung tempat tidur sana.

"Apa dia masih menonton TV?" Aku beranjak dari sana, bermaksud akan melihat keadaannya. Televisinya masih menyala. Namun, ternyata kesadaran Anindya yang entah sudah hilang ke mana.

Aku mematikan televisi dan terdiam. Boleh 'kan jika aku menyentuhnya? Sesaat pikiranku sendiri bergelut. Namun, pada akhirnya memutuskan untuk mengangkat tubuh mungil itu, memindahkannya ke dalam kamar. Aku membaringkannya dengan perlahan, supaya tidak membuatnya terjaga. Wajahnya itu semakin tampak seperti anak kecil saja kalau sedang tidur begini.

Aku menutupi selimut sampai ke dadanya, lalu kembali ke tempatku.

Aku kembali berusaha tidur sampai suara adzan membuatku perlahan terbangun. Sudah subuh lagi, padahal kurasa baru lima menit menutup mata. Aku bangkit, menoleh ke arah Anindya yang masih terlelap. Aku bermaksud akan membangunkannya, tetapi diurungkan. Mengingat semalam gadis itu tidak sedang dalam keadaan bersih, aku memutuskan untuk mandi lalu pergi berjamaah ke Masjid.

Cinta Guru Agama (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang