Part 8 Between

7.6K 598 0
                                    

Reswara POV

"Serius banget Pak Ares," tegur Pak Rian yang tak lain adalah guru olahraga. Usianya tiga tahun di atasku.

"Iya, Pak. Saya sedang merangkum materi untuk bahan soal UAS nanti," sahutku membuatnya mengangguk kecil.

Tampak dia menarik kursi ke seberang mejaku.

"Gimana ngajar di sini? Betah?"

"Alhamdulillah betah, Pak. Sudah setahun lebih juga," sahutku sesekali menoleh ke arahnya.

Aneh saja rasanya, Pak Rian bertanya begitu padahal aku sudah satu tahun lebih mengajar. Ya ... pertanyaan tersebut sepertinya cocok untuk guru yang baru masuk dua atau tiga bulan.

"Tolong dimaklumi anak-anaknya ya, Pak. Mereka memang bandel," kekehnya membuatku ikut tersenyum kecil.

"Gak apa-apa. Di usia mereka begitu memang lagi zamannya, Pak." Ia mengangguk-angguk.

"Tapi saya yakin kalau Pak Ares tidak seperti saya di zaman SMA dulu," kekehnya lagi.

Aku hanya balas menyungging senyuman sebagai jawaban. Andai dia tahu kalau aku di zaman SMA itu bukan seperti yang sekarang ini.

"Jamnya istirahat, gak baik ngerumpi terus," tegur Pak Erwin guru Bahasa Inggris.

"Cari yang segar yuk ah," ajaknya kemudian.

Pak Rian segera beranjak, tetapi aku tidak.

"Pak Ares gak mau ikut?" tanyanya.

"Saya tanggung kerjaan, Pak. Silakan duluan saja," ujarku merasa tidak enak hati.

"Jangan terlalu gila kerja Pak Ares," ujar Pak Erwin disertai menepuk pelan pundakku.

Mereka berdua pergi, meninggalkanku sendirian di ruang guru ini. Tidak tahu guru yang lain ke mana, mungkin mereka tengah beristirahat.

Tidak berselang lama Bu Yatin mendatangi mejaku. Beliau juga salah satu guru Agama Islam di sini.

"Pak Ares tadi melihat Pak Amin?"

"Saya tidak melihatnya, Bu. Mungkin Pak Amin sedang beristirahat," ujarku membuatnya berpamitan kembali

Memang hanya aku guru Pendidikan Agama Islam termuda di sini. Pak Amin dan Bu Yatin sudah mau menginjak kepala lima. Dan karena begitu, aku jadi merasa seperti anak didik mereka. Dengan sedia mereka membantu kesulitanku dalam mengajar.

Merangkum materi dan membuat soal itu cukup melelahkan. Aku memutuskan untuk menutup laptopku dan beranjak keluar. Aku juga manusia. Aku lapar, haus pula.

Aku pergi ke kantin satu yang letaknya tidak jauh dari ruang guru. Aku membeli minuman dingin juga seporsi nasi uduk. Sekarang pengeluaranku jadi double. Itu karena aku juga harus memberi Inda uang jajan. Kalau begini ... aku lebih seperti ayahnya ketibang suami. Namun, bersyukurlah kalau ternyata gadis itu tidak suka menghambur uangnya untuk keperluan rias atau berbelanja. Karena aku tahu biasanya para gadis seusia Anindya akan sangat mementingkan wajah mereka.

Aku menyantap makanan itu seorang diri di meja dekat kulkas. Keadaan kantin memang sangat ramai, sehingga aku tidak menyadari kehadiran seseorang yang ternyata membutuhkan tempat untuk duduk.

"Assalamualaikum, Pak? Kita bertiga boleh bergabung?" Aku mendongkak, mendapati Inda and friend. Ralat perkataanku tadi, bukan seseorang,tapi tiga!

"Waalaikumsalam. Silakan," jawabku canggung. Inda pun sepertinya demikian.

Lain halnya dengan Titi dan Siska yang justru memasang tampang bahagianya. Mereka berdua terus tersenyum sambil menatapku dan Inda secara bergantian. Aku tidak tahu kalau ternyata akan begini. Sungguh astagfirullah mereka berdua. Kami makan dalam diam.

Cinta Guru Agama (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang