Aindya POV
Aku terus saja memikirkan perkataan Mas Ares sedari siang. Rasa sedih itu begitu kentara di wajahnya.
Namun begitu, dia masih sosok yang kuat. Mungkin aku sudah hancur jika berada di posisinya.
Aku hanya bisa menatap wajahnya yang tengah terlelap.
"Apa mas Ares takut aku tinggalkan?" Pertanyaan itu tentu saja tidak berbalas jawaban.
"Aku akan mencoba menetapkan hatiku. Aku ... sangat menyayangi Mas. Dan aku gak mau mendengar hal seperti itu lagi." Aku terus saja bergumam seorang diri.
Aku masih ingat ketika Bu Ira menceritakan kisahnya.
Mas Ares ditemukan di teras panti asuhan pagi-pagi buta. Aku sedikit menitikan air mata membayangkan hal tersebut, turut merasakan sakitnya.
Ibu memang sudah meninggalkanku beberapa tahun lalu. Namun, dia ... menyayangiku. Lain halnya dengan Mas Ares yang bahkan tidak tahu sama sekali tentang siapa dan di mana kedua orang tuanya.
"Maaf aku pernah berpikiran aneh tentang Mas."
"Sekarang aku gak mau lihat Mas bersedih." Setelah mengatakan itu aku pun ikut terlelap.
Semoga esok bisa kembali baik-baik saja. Semoga suasana hatinya segera pulih. Aku ... sangat merindukan senyuman hangatnya.
***
"Kenapa muka lo masam?" tegur Siska.
"Something problem," jawabku malas.
"Jangan banyak drama, itu bukan lo!" geram Titi.
"Bukannya beri solusi atau minimal ditenangin kek, ini malah nyinyir," gerutuku sambil beranjak keluar.
"Anindya?" Teguran itu membuatku berhenti. Ternyata pak Erwin.
"Ini kamu bagaimana? Mau ikut study tour apa nggak?"
"Kenapa? Masih belum bicara sama orang tuamu?" kesalnya.
"Udah, Pak. Katanya ... saya ikut," sahutku.
"Nah gitu dong." Ia membuka catatan dan memberi tanda centang di absenku.
"Pembayarannya harus segera diselesaikan. Paling telat minggu ini. Soalnya minggu depan saya sudah mau nyari bus pariwisatanya."
"Iya, Pak."
"Bilang sama orang tuamu! Tapi jangan lama-lama awas. Jangan gantungin saya kayak kemarin."
"Iya."
"Kamu tahu? Diberi janji tanpa kepastian itu sakit. Nyesek," gumamnya.
Kedua alisku naik. Pak Erwin ini curhat atau apa?
"Ah sudahlah. Pokoknya jangan lupa lagi."
"Iya ...."
Pak Erwin pergi meninggalkanku di lorong sepi itu.
Entah ke mana perginya orang-orang. Mungkin mereka sudah pulang lagi ke rumahnya.
Aku kembali berjalan dan duduk di bangku tepi lapang. Entah apa yang tengah aku lamunkan dan pikirkan.
"Jangan ngelamun, nanti kesambet baru tahu rasa loh," kekeh Ivan yang kini turut duduk di sampingku.
"Apa sih? Gak jelas banget," geramku.
"Cerita dong sama gue. Kali aja ... gue jadi solusi."
Aku diam dan memusatkan perhatian pada lapang yang kosong. Tampak beberapa siswa hanya berlalu-lalang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Guru Agama (TAMAT)
Ficção AdolescenteReswara adalah seorang guru Pendidikan Agama Islam yang dijodohkan dengan Anindya---gadis yang tak lain merupakan anak didiknya sendiri. Keduanya tidak bisa menolak perjodohan tersebut dan harus menerima dengan lapang dada. Namun, bisakah cinta tumb...