͒
Tangan kekar kurasakan sedang menyentuh dan mengelus pipiku dengan sangat lembut, sentuhan yang ia berikan membuatku merasakan sinyalir kenyamanan. Perlahan tapi pasti aku membuka mata dan menangkap sosok Ezard yang tengah berbaring, kepalanya ia tumpukan pada tangan kirinya, sementara tangan kanannya sibuk menjelajahi pipiku.
Ia tersenyum. Seperti senyuman seorang iblis. Sesekali mata kami bertemu, saat itu pulalah senyumannya yang tadi menjijikan mendadak menjadi lembut.
"Kau tidur pulas?" Ia bertanya.Kali ini aku beranikan diri menatap matanya, sehingga ia tak perlu susah-susah bertingkah untuk mendapatkan atensiku.
"Semalam kau mabuk," gumamku.Spontan, elusan yang tadinya lembut kini jari-jarinya serasa ingin mengoyak pipiku. Sehingga aku merasakan ngilu yang tertera di sana. Aku menggeser tangan Ezard dengan cepat, menariknya ke dekapan. Hanya dengan maksud agar ia melenyapkan pikiran kotornya yang ingin merobek wajahku.
"Apa kau tidur bersama wanita lain?"Apa gunanya pertanyaan itu? Bahkan ketika ia melakukannya di depan mataku ratusan kali, aku sungguh tidak akan peduli.
"Aku benci ketika kau banyak tanya!"
"Aku tidak akan bertanya jika kau tidak pulang dalam kondisi tubuh seperti semalam."
"Sekarang kau mau marah?"
"Aku tidak punya hak."
"Kau banyak tanya dan kemudian mengatakan kau tidak punya hak! Apa ini Nai? Kau membingungkanku."
"Tidak usah repot-repot untuk memahaminya."
"Baiklah, kalau kau tidak peduli dengan urusanku. Lain kali aku akan membawa wanita lain ke rumah ini dan menciumnya di depan matamu."
"Bahkan kau berniat menyakitiku."
"Apa kau mencintaiku sehingga kau perlu merasa tersakiti?"
"Aku ini istrimu, Ezard! Meski tidak mencintaiku, setidaknya kau hargai posisiku!"
"Bagaimana dengan hakku atas dirimu, Nai? Dan dimana kau taruh kewajibanmu sebagai seorang istri? Harus kah aku buat tulisan besar dan kutempel di atas dahimu bahwa kau harus melayani suamimu, Nai? Hah!" Suara baritonnya cukup kuat sehingga serasa mengintimidasiku.
"Cukup, Ezard. Kau memang lelaki tidak waras!"
Aku tercekat melihat lelaki itu terus saja memandangiku dengan tatapan yang sangat sulit kuartikan. Di sisi lain, aku kasihan padanya karena terlalu lama menunggu, tapi dibagian lain hatiku aku tidak bisa menyerahkan diriku begitu saja.
Aku menarik napas dalam-dalam. Mataku terlalu fokus mengamati kedalaman mata Ezard, hingga sampai akhirnya lelaki itu memalingkan wajah. Helaan nafas beratnya terdengar tepat setelah ia memunggungingiku secara sengaja.
Dia mungkin bukan lelaki yang akan duduk denganmu di sudut kota ketika senja sudah tiba, mungkin juga bukan tipe lelaki yang akan mengajakmu makam malam di pinggiran kota Jakarta atau untuk sekedar menikmati embum pagi berdua di teras sambil mendengarkan radio dan membaca buku favoritmu.
Juga ia mungkin bukan lelaki berwajah hangat yang akan mendamaikan hatimu. Bukan pula lelaki yang akan menuangkan teh di cangkirmu ketika teh itu habis di seruputan terakhirmu. Atau hanya untuk sekedar berbaring di pangkuanmu dan menceritakan semua hal yang membuatnya kesal di hari-hari yang terasa begitu buruk.
Akan tetapi, ia cukup baik bagiku, meski tidak sepenuhnya baik. Dia tidak memaksakan kehendaknya atas sesuatu yang mungkin aku belum bisa mewujudkannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Season With You || Lee Jeno [✓]
Romantizm🔞"Cintai aku sekali lagi. Jika seumur hidup terlalu berat, maka cukup satu menit saja," ucap lelaki itu, penuh harap. || Copy Right 2020 || Start April 2020