12. Ezard Wattson

1.6K 135 1
                                    



⁠۝ ⁠۝ ͒⁠۝ 

Aku tidak menyalahkan orangtuaku untuk apapun juga, kecuali mungkin melahirkanku dalam keluarga yang hancur.

Aku juga tidak berfikir ingin dikenang masa depan, hanya saja jika memungkinkan aku ingin sedikit saja masa depan yang bahagia itu menjadi milikku. Kepuasan itu menjadi bagian dari diriku. Dan kehampaan yang kurasakan hingga membuatku terjaga sepanjang malam semoga cepat menghilang.

Memeluk Naima yang tidur di sampingku ternyata tidak cukup membantu. Mungkin karena aku merasa sangat khawatir tentang kejujurannya. Padahal sudah kujelaskan padanya di hari pertama pernikahanku dengannya, bahwa aku tidak memiliki cinta untuk dipersembahkan padanya, atau kasih sayang yang bisa kubagi untuknya. Tetapi anak itu sungguh keras kepala.

Cinta dan perasaannya membawa masalah baru atas hubungan ini. Seseorang bisa saja mengatakan bahwa kisah ini cukup klise. Tapi yang mengetahui keberadaannya adalah aku.

Cinta adalah kekayaan hati, jika Naima memintanya padaku, mungkin tidak bisa kuberikan, itu ada di daftar merah. Daftar bahaya yang tidak akan pernah kusentuh.

Tetapi jika Naima meminta sesuatu yang lain, semisal rumah bertingkat dengan halaman yang luas, mungkin bisa kuberikan dengan mudah.

Menarik perhatianku hingga aku menyelamatkan hidup adiknya bukan berarti otomatis aku akan mencintainya dengan segenap jiwa ragaku. Tidak mungkin aku melakukan hal seperti itu.

Untuk menyelamatkan orang lain, aku harus lebih dulu menyelamatkan diriku. Untuk memayungi orang lain, tentu aku sendiri harus berlindung dari hujan. Kita tidak boleh buta. Pengorbanan harus dilakukan, tetapi kehilangan diri sendiri akibat pengorbanan itu, adalah kejahatan terhadap diri sendiri.

Egois? Ya. Siapa di dunia ini yang tidak egois. Tidak ada kebenaran yang maha pasti. Ketika dua orang saling bertengkar mereka akan saling menyalahkan. Dan kau tahu apa yang dilakukan kedua belah pihak?  Bermusuhan sepanjang hari, terus menggali pembenaran atas tindakan egois yang mereka lakukan.

Yang satu menganggap dirinya benar karena menurutnya meneriaki temannya yang berisik tidaklah salah. Yang satu lagi dengan merasa tidak bersalah menganggap dirinya benar pula karena ia berisik di wilayahnya. Padahal kuncinya ada di dalam hati, di dalam pikiran yang jernih. Saling memahami akan membuat keduanya menemukan jalan tengah.

Tetapi persetan dengan jalan tengah, bahkan untuk sekedar mengakui kalau dirinya salah saja ia tidak sudi. Padahal, keduanya bisa saja berdamai.

Contoh lain, adalah ketika dalam bahaya. Dulu, sewaktu kecil. Kira-kira belasan tahun. Saat itu, Mama membawaku ke taman kota untuk bermain dan berbelanja ice cream. Tapi sepuluh menit kemudian para preman jalanan dan beberapa orang gila mengacaukan taman yang tadinya dipenuhi oleh banyak orang tua yang membawa anaknya untuk sekedar jalan-jalan sore.

Beberapa orang dewasa berlarian. Dan yang paling menyita perhatianku. Saat salah satu orang dewasa menabrak seorang anak kisaran tujuh tahun, hingga anak itu menangis. Tak ada yang menolongnya di tengah hiruk-pikuk orang-orang yang berlarian. Jiwanya yang ketakutan tidak bisa diselamatkan.

Orang-orang terus berlari, aku juga ingin berlari pergi, tetapi anak kecil itu menyita perhatianku. Sehingga aku melepaskan genggaman tangan Mama, menjulurkan tanganku padanya dan membantunya berdiri. Aku menghapus air matanya. Dan yang terjadi berikutnya adalah salah satu orang gila memukul kepalaku hingga aku tak sadarkan diri. Terakhir yang bisa kudengar hanyalah tangisan Mama.

Aku mengehela napas ketika mengingat peristiwa itu. Kejadian itu sudah bertahun-tahun yang lalu. Sebenarnya, sampai saat ini masih banyak orang gila yang berkeliaran di jalanan. Dan juga preman yang melarikan diri kenyataan dan tanggung jawab sudah tak terhitung jumlahnya. Tetapi entah kenapa di sore itu mereka berubah menjadi monster yang mengerikan.

Ada beberapa korban pada peristiwa itu. Alhasil, keamanan diperketat. Beberapa preman yang tertangkap dipenjarakan. Dan orang gila di bawa ke tempat penampungan.

Untuk yang satu ini, aku juga punya yayasannya. Sengaja, bukan karena ingin berbuat baik. Hanya saja aku tidak ingin ada anak kecil yang mengalami hal yang sama. Itu terlalu mengerikan. Kejiwaan mereka bisa terguncang. Dan jangan sampai satu Indonesia menjadi gila, karena orang gila telah membuat anak-anak gila.

Sudah banyak orang gila yang dipindahkan ke sana. Karena yayasan-yayasan lain tidak mampu lagi membiayainya sebab kekurangan donatur. Sementara aku, cukup bisa memutar uangku dengan baik.

Aku ingin berhenti bercerita tentang yayasan, orang gila atau juga perasaan Naima padaku. Kini aku hanya ingin menceritakan dua hal sebelum aku berhenti bercerita.

Pertama, keputusanku untuk pulang ke rumah, lagi. Bahkan ketika aku belum menginjakkan kaki di kantor. Beberapa menit yang lalu Paman Gober, penjaga gerbang rumahku menelpon bahwa ada Mamaku dir umah. Maksudku, mama tiriku.

Kedua, bahwa aku tidak menyukainya. Bukan tanpa alasan. Hanya saja dunia yang kejam ini membawa aku dan ia ke dalam hubungan yang tidak tepat. Aku tidak membencinya secara personal, tetapi ketika ia kulihat sebagai istri dari papaku dan adik dari mama kandungku, membuatku selalu merasa ingin menghabisinya detik itu juga.

Itulah sebabnya aku tidak pernah ingin serumah dengannya. Setalah kematian Papa aku memutuskan pindah dan membiarkan ia tinggal seorang diri di rumah yang sebelumnya penuh dengan kenangan aku, Papa dan Mama kandungku.

Sementara aku memikirkan ini, mobil-mobil di luar sana saling mengklakson. Kemacetan mulai memburu, padahal ini baru pukul 8 pagi. Ah, sialnya hidup di kota seperti ini.

"Pak, di depan sana ada kecelakaan. Bus kota menabrak tiang listrik, dengan alasan yang sama. Supir mengantuk."

Polisi itu dengan malas menjelaskan padaku. Tentu saja, kecelakaan dengan alasan yang sama terjadi berulang-ulang selama bertahun-tahun. Sejujurnya, polisi mungkin sudah bosan menangani kasus yang sama. Para dokter mungkin juga tidak ingin lagi mengurus pasien dengan alasan kecelakaan.

Ngomong-ngomong. Polisi itu kenalanku. Aku dan dia sudah berkenalan beberapa tahun yang lalu di tempat ini. Hari dimana aku lupa membawa SIM padahal siang itu ada razia. Aku mengamuk tidak terima, aku sudah melakukan banyak cara agar ia melepaskanku termasuk juga memberi uang suap. Akan tetapi ia malah balik marah padaku dan menolak uang pemberianku.

Aku masih ingat apa yang kukatakan padanya di siang yang gerah itu.

"Aku akan memasukkanmu ke penjara, brengsek!!!" Aku tidak punya pilihan lain selain mengumpatnya, karena saat itu aku dalam keadaan terdesak. Klienku dari luar kota terus menelpon sebab lama menunggu.

"Maaf, Pak. Tapi peraturan harus ditegakkan. Keadilan harus diratakan. Bahkan ketika Bapak memberi saya segudang uang itu tidak berarti apa-apa. Sekarang, Bapak hanya perlu mengikuti saya ke kantor polisi dan kita bicarakan ini di sana."

Dia memang lelaki gila yang sok-sokan idealis! Begitu pikirku dulu.

"Kau akan terima akibatnya, botak!!!" Kebetulan waktu itu ia mungkin baru memotong rambutnya.

Ia hanya tersenyum atas penghinaanku yang terus bertubi-tubi kulontarkan padanya. Sampai akhirnya tanpa mau di suap dengan uang, ia menarik paksa diriku ke kantor polisi dan menderek mobilku juga. Dan dari situlah aku tertarik untuk berkenalan dengannya.

"Antonio, boleh aku titip mobilku?"

"Kau mau melarikan diri lagi?" Ia terkekeh.

"Aku tidak bersalah, sehingga tidak perlu melarikan diri."

Lelaki 25 tahun itu terkekeh dan memutar arlojinya yang agak bergeser, mungkin.

"Kudengar kau sudah menikah?"

"Hm." Aku berdehem dan memberikan anggukan kecil. Kegiatan terus kulakukan adalah mengetuk-ngetuk stir mobil dengan ujung telunjukku. Sungguh, aku ingin segera sampai di rumah, tetapi kemacetan ini membuatku kurang waras.

"Kenapa tidak mengundangku?" Polisi muda itu berkata sambil mengamati keadaan sekitar. Wajahnya memerah karena matahari pagi.

"Bahkan aku tidak mengundang orang tuaku." Aku terkekeh.

"Gila kau, Pak!" Ia terbahak-bahak. Sebelum akhirnya pamit dengan mengacungkan jempolnya karena rekan kerjanya dari belakang memanggil.






......

Season With You || Lee Jeno [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang