29. Naima Rosdiana

1.6K 142 14
                                    


⁠۝ ͒ ⁠⁠۝  ⁠۝ ͒


Toko bunga masih saja terlihat sama sejak terakhir kali aku datang ke sini. Masih bersih dengan puluhan aroma bunga menguar berpadu dalam satu ruangan.

Dan di belakang meja yang dipenuhi oleh bunga-bunga itu, ada Aeri yang sedang sibuk merangkai bunga di atas meja. Bunga itu baru datang beberapa menit yang lalu. Jenisnya macam-macam. Ada mawar aneka warna, krisan, marigold, adenium, Christina cactus, dan juga bunga tulip.

Sementara di depan sana, jalanan dipenuhi oleh kendaraan yang berlalu-lalang. Pajero saling selip, dan bunyi klakson bersahutan. Di trotoar, tampak para bocah kecil yang memakai seragam putih dongker bergerak cepat dengan menggenggam topi sekolah di salah satu tangan dan ponsel di tangannya yang lain; aku geleng-geleng kepala untuk yang satu ini.

Beberapa anak muda memakai kemeja yang tidak dikancing dengan dalaman kaus hitam tengah memotret pemandangan sekitar. Pekerja kantor tampak menenteng tas dan berlari kecil menuju gedung perkantoran di depan sana sambil mengunyah roti. Mahasiswa juga kelihatan tak mau absen dari pandanganku pagi ini, mereka berjalan santai seolah tidak ada semangat pagi dengan Starbucks di salah satu tangannya; dia mungkin salah satu anak penyembah mode.

Aku melirik jam di tanganku, masih pukul 06:30. Tapi Ezard tadi berangkat pagi sekali. Sehingga aku memutuskan untuk berangkat juga dan berakhir di toko bunga sepagi ini.

Aku memalingkan wajahku pada kedai teh di samping toko bungaku yang belum dibuka. Mbak Aluna mungkin belum bangun, atau memang ia tidak berencana membuka kedainya hari ini.

Semenjak pertengkarannya dengan Mbak Rania, Mbak Aluna memang jarang membuka kedai tehnya. Sudah satu minggu sejak hari pertengkaran itu, tetapi Mbak Rania tidak pernah kembali setelahnya. Sepertinya pertengkaran sore itu menjadi yang terakhir kalinya untuk mereka berdua.

Kadang, Mbak Aluna keluar dengan wajah masam dari kedainya hanya hanya untuk sekedar membuang sampah. Selebihnya, ia tidak mengatakan apapun.

Aku tahu dia wanita yang mandiri, senang menghabiskan waktu dengan puluhan buku setiap hari, atau sekedar mendengar musik genre apapun yang ia suka. Sejauh yang bisa kuingat, ia punya selera musik yang bagus. Aku tahu karena ia sering menyetel lagu keras-keras hingga bunyinya sampai ke tokoku, bahkan juga ke sebelah toko yang ada di samping toko bungaku.

Dia tidak membutuhkan siapapun dalam hidupnya, kecuali mungkin hanya sekedar untuk menopang hatinya agar tidak merasa sendiri. Selebihnya untuk masalah pekerjaan, ia tidak memerlukan bantuan apapun. Tidak peduli juga dengan pendapat orang lain tentang bagaimana ia menjalani hari-harinya.

Sedang Mbak Rania, ia wanita gila penyembah mode. Ia menyukai barang-barang mahal. Suka eksis di media sosial. Ia mendefinisikan kehidupannya dari cara orang lain memandangnya. Ia sering merasa kesepian kalau sendiri sepanjang waktu. Ia sepenuhnya menggantungkan hidupnya pada orang lain.

Manusia sejenis Mbak Rania ini sangat merepotkan menurutku. Aku jelas tidak suka. Tapi meski karakter mereka bak langit dan bumi. Mereka tetap saja berteman baik, ya walaupun sering adu mulut juga.

Alasan yang jelasnya tentu karena Mbak Rania merasa bahwa hanya Mbak Aluna yang bisa menerima kembalinya dengan lapang. Sedang Mbak Aluna, dia wanita yang hanya membiarkan semua orang lalu lalang begitu saja dalam hidupnya. Dia paham dengan kalimat 'manusia bisa saja datang dan pergi'

"Kau sedang memikirkan apa, Nai?"

Mbak Eri, wanita berwajah teduh itu membuyarkan lamunanku.

"Tidak ada, Mbak. Hanya saja aku merasa tidak puas. Itu saja." Aku tersenyum.

Season With You || Lee Jeno [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang