14. Ezard Wattson

1.7K 139 2
                                    

⁠۝ ⁠۝ ͒⁠۝ 

Meski tidur dan berbagi banyak hal dengannya, tetapi aku belum merasakan apa-apa yang membuatku yakin bahwa aku memang mencintainya. Yang terjadi selama ini denganku terhadapnya hanyalah perasaan biasa yang juga kurasakan terhadap orang lain.

Aku menatap kosong bangunan yang menjulang tinggi yang secara perlahan lampu-lampunya mulai padam di depan sana. Melarikan diri dari rumah dan duduk di ruang kerjaku diantara perdebatan isi kepala adalah hal yang membuatku merasa bahwa aku memang butuh waktu untuk mencerna semua ini.

Ruangan tempatku berada, menghadap gedung-gedung tinggi, tempat bekerja yang menjadi impian anak-anak muda yang baru lulus. Belasan ribu orang pertahun mendaftar ke sana, tetapi hanya ratusan yang diterima.

Aku memutar-mutar penaku, sesekali mencengkeramnya erat. Jam sudah menunjukkan pukul dua belas malam, restoran sudah di tutup satu jam yang lalu. Pegawai sudah pulang ke rumah masing-masing.

"Bapak, belum pulang?"  tanya pemilik suara itu sembari membuka pintu, aku tak bergeming sedikit pun.

"Dari luar cahaya lampu dari ruangan dapat terlihat jelas, karena beberapa lampu sudah dimatikan. Maaf kalau saya mengganggu," lirihnya yang masih berdiri di ambang pintu.

Untuk kedua kalinya ia bicara padaku. Sebagai atasan yang baik aku menoleh padanya tanpa di suruh. Memutar kursiku ke arah tempatnya berdiri.

Wanita itu mengenakan kemeja putih polos lengan panjang dengan satu kancing bagian atas dibiarkan terbuka begitu saja. Ujung kemejanya dimasukkan ke dalam rok span diatas lutut. Rambut ikal panjangnya yang biasanya dibiarkan tergerai, kini malah disanggul. Memperlihatkan lekukan lehernya. Bibir tipisnya dipolesi lipstik merah yang menyita perhatianku.

Sungguh menawan!

Sial!

Aku merasakan darahku menghangat.

Untuk pertama kali wanita ini kelihatan mempesona di hadapanku. Tidak, ini mungkin karena efek aku sudah lama tidak berhubungan. Sejak menikah dengan Naima aku tidak melakukannya karena tidak ingin berselingkuh di belakang wanita itu.

Kiara selalu cantik seperti yang sudah-sudah. Wanita yang menjadi manager di restoran ini selalu tampil modis. Dia tidak pernah berubah, hanya saja aku yang perlu mengendalikan diri.

Ketika wanita itu tiba dihadapanku, aroma parfumnya yang lembut menyeruak. Masuk ke penciumanku dan menyerang sel-sel sarafku.

Sial! Kepalaku berdenyut. Aku mengumpat dalam hati. Mengutuk ketertarikanku padanya.

Tidak! Aku tidak boleh tertarik pada siapapun lagi! Aku sudah menikah! Aku sudah punya istri yang hatinya harus dijaga! Aku tidak boleh berhubungan sembarangan lagi! Terakhir kali aku merasakan kepalaku berdenyut aku langsung minum. Oh, mungkin hari ini aku juga harus minum agar semuanya kembali membaik.

"Maaf, Pak?"

Ah! Suaranya kembali menggaduh. Kenapa tiba-tiba menjadi begitu merdu? Kurasa aku memang sudah sakit jiwa!

"Ini restoran saya, jadi terserah saya. Lagi pula mengapa kamu masih ada di sini?"

"Ada data yang harus saya selesaikan, Pak."

"Sudah, kamu boleh pergi."

Wanita itu berbalik. Mau tidak mau aku harus menyakisikan tubuh wanita itu yang berjalan menjauh. Lagi-lagi fantasiku terusik.

Rambutnya, cara berjalannya dan kaki jenjangnya. Dan bagaimana bisa ia menjadi sedemikian menarik saat ini?

Ah! Aku tidak bisa lagi mengendalikan diri. Persetan dengan Naima, persetan dengan statusku sebagai suaminya. Maka malam ini, dengan kewarasan yang entah kukesampingkan kemana. Aku memanggil wanita itu.

Season With You || Lee Jeno [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang