8. Naima Rosdiana

1.8K 142 4
                                    

⁠۝ ⁠۝ ͒⁠۝ 

Sebut saja aku wanita gila. Tetapi yang kulakukan hari ini adalah tindakan paling benar dalam hidup. Sebelum jatuh cinta lebih dalam lagi, maka aku harus segera melarikan diri. Sebelum akhirnya aku benar-benar terperangkap maka aku harus segera menemukan jalan keluar. Lagi pula rumah ini tidak kekurangan pintu untuk kabur.

Aku kembali mengumpulkan segenap kewarasanku. Menghapus air mata dan memungut satu persatu baju yang berserak. Omong kosong dengan Ezard yang akan membunuhku karena tidak menuruti perintahnya. Yang jelas aku hanya perlu merapikan pakaian ini dan kembali memasukkannya ke dalam koper.

"Letakkan itu di sana, Nai." Lelaki itu menggeram. Ia mengepalkan kedua tangan. Aku tidak peduli, masih memungut pakaianku.

"Nai."

"Naima."

"Naima, apa kau tuli?"

Persetan dengan namaku yang terus dipanggilnya dengan nada tegas atau marah. Meski ratusan kali ia mengutuk namaku, aku tidak akan mati hanya karena itu.

"NAIMA!!!"

Aku terkejut bukan kepalang, tetapi jiwaku tidak putus asa dan ragaku harus kuat. Tinggal satu baju lagi dan aku akan mengunci koper ini.

Dan yang terjadi hanyalah—

Koper itu kembali berserak. Ezard tidak hanya marah, tetapi juga mengamuk. Ia melempar koper itu luar jendela bersamaan dengan reaksiku yang sungguh menggigil ketakutan. Kali ini, setelah fokusnya terhadap koper itu berakhir, ia malah menuju ke arahku.

Aku mundur, tetapi ia terus memburuku dengan tatapan tajam seperti busur panah.  Ia mendekat bersama aromanya yang pekat mendominasi ruangan. Kakiku kaku, aku tidak tahu apa sekarang aku masih berpijak di lantai dengan terus melangkah mundur atau tidak. Tetapi yang jelas hanyalah bahwa Ezard membawa awan hitam pekat ke hadapanku bersama tubuh bongsornya yang entah kenapa menjadi menakutkan untuk saat ini.

Tiba-tiba punggungku menghantam sesuatu. Aku menolehkan kepala ke kiri-kanan secepat kilat, kemudian kembali menatap Ezard. Tak sedikitpun ada niat untuk mengalihkan pandangan ke objek selainnya. Berjaga-jaga kalau ia mencekikku, maka aku bisa memberikan perlawanan.

Ezard terus melangkah maju mendekatiku. Sementara aku tidak bisa lagi mundur. Tembok di belakangku terlalu keras untuk kuhadang. Demi apapun kondisi terdesak seperti ini benar-benar tidak pernah kuinginkan terjadi dalam hidupku.

Kepalaku tiba-tiba menjadi pusing tak terkendali. Aku menyentuhnya sembari memejamkan mata. Dadaku juga akhir-akhir ini terasa sakit, entah apa sebabnya.

Sementara lelaki menakutkan itu bergerak mendekati tetapi tanganku lebih cepat menghalangi tubuhnya. "Jangan mendekat, kumohon," pintaku dengan hati tulus yang semoga saja bisa membebaskanku dari situasi menegangkan ini.

"Tolong, kumohon." Air mataku jatuh menandakan betapa frustasinya aku saat ini.

Aku sangat ingin dekat dengannya, tetapi tidak dalam keadaan matanya yang tajam dan ekspresinya yang dingin. Aku tidak suka, aku sungguh ketakutan.

"Ezard ... kumohon. Tolong ... kumohon...." Aku menjerit dalam isakanku. Air mataku jatuh, terus mengaliri pipi.  Yang kutakutkan adalah bayangan kalau ia akan membunuhku.

Agaknya rengekanku membuatnya luluh. Hingga lelaki itu berhenti dan sedikit melunakkan pandangnya. Tetapi tak berselang lama, ia kembali mendekat. Mengikis habis jarak aku dan ia. Ia menyentuh kedua pipiku dan menghapus air mataku. Aku masih sangat ketakutan.

Tangannya yang dingin dan gemetar, menandakan kalau ia sedang menahan sesuatu dalam dirinya.

Aku memandangnya dengan cemas. Sementara ia menatap mataku dengan ekspresi paling datar. Lelaki itu menggeleng, menyatukan dahinya dengan dahiku.

"Maafkan aku." Untuk pertama kalinya dua kata itu keluar dari mulutnya setelah banyak kesalahan yang ia perbuat padaku selama dua minggu terkahir.

"Aku ketakutan." Aku berterus terang. Masih terisak ketakutan dan memandangnya cemas. Aku memberanikan diri meletakkan kedua telapak tanganku di di kedua pergelangan tangannya. Sementara jari-jari lelaki itu terus menghapus air mata yang jatuh di pipi.

Tatapannya mulai melunak, sehingga tubuhku yang tadi menggigil ketakutan mulai merasakan betapa hangatnya lelaki yang ternyata kucintai ini.

"Aku kacau, aku hilang kendali. Itulah sebabnya selalu kukatakan, jangan memancingku, Nai. Tapi gadis bodoh ini terus saja keras kepala." Ia terkekeh geli. Dan membenturkan dahinya ke dahiku, kemudian berkata, "Hukuman."

"Aku ingin pulang." Meski ketakutanku mereda. Akan tetapi keinginanku masih sama.

"Aku tidak bisa melepasmu."

"Kumohon, aku tidak bisa ada di sini."

"Kau bisa, Nai."

"Tidak." Aku menggeleng, air mata kembali jatuh, tidak kubiarkan lelaki itu menatap ke selain mataku. "Aku mulai mencintaimu. Aku baru menyadarinya. Dan aku tidak ingin ini terus berlanjut."

"Nai....?"

Nada lelaki itu terdengar kecewa. Apa salahnya dengan cinta? Bukankah itu seharusnya sangat baik untuk hubunganku dan ia kedepannya? Tetapi entah kenapa lelaki ini tidak menginginkannya? Bukankah ia ingin memiliki banyak anak denganku? Tetapi kenapa ia tidak ingin mencintaiku?

Ezard memicingkan mata dan melangkah mundur. Lelaki itu menggeleng tidak setuju.

Lalu dengan satu sentakan ia menarik tanganku. "Kau melakukan kesalahan besar," ucapnya kecewa.

Dan yang ia lakukan berikutnya adalah mencengkram tanganku dengan sangat kuat, menciptakan rasa ngilu disana. Hingga rasanya tangaku bisa patah kalau saja ia terus-menerus begitu.

Ia menarikku menuju kamar mandi, lalu menyalakan shower. Aku kebingungan, tidak mengerti atas tindakannya kali ini. Ia menuangkan shampoo ke kepalaku, menggosok seluruh badanku. Aku sempat memberontak, tetapi kekuatannya lebih banyak dari pada kekuatanku.

"Kau kenapa?" Aku bertanya setengah berteriak karena deru air menelan suaraku.

"Supaya kau sadar, bahwa tidak seharusnya kau mencintaiku."

"Sudah kubilang lepaskan aku kalau kau tidak ingin mencintaiku!!!"

"Jangan memaksaku, Nai!"

"Tapi, caramu memperlakukanku yang membuatku mencintaimu, Ezard." Aku terisak dan memelukku lututku.

Dress putih yang tadi kupakai mungkin sudah tembus pandang. Aku sangat malu, malu karena Ezard baru saja menolakku dan malu karena pakaikanku yang tipis. Aku membiarkan air mataku hanyut bersama air yang terus mengalir.

"Aku mencintami, Ezard. Itu keputusan terbodohku. Lebih bodoh dari sekedar menikahi pria yang baru saja kukenal,"  lirihku.

Sementara lelaki itu masih menggosok sekujur tubuhku. Kubiarkan saja karena aku sudah sangat lelah memperdebatkan apapun dengannya.

Sungguh aku tak pernah mengharpakan ini. Aku kira aku hanya akan melihatnya pulang larut malam dengan bau alkohol di mulutnya saja. Lalu dengan bantuanku ia akan tertidur di ranjang.

Bukannya pulang dengan wajah sumringah dan mengajakku berdebat sepanjang malam, menggodaku jika ia sedang ingin. Dan memelukku jika aku mulai kesal dengan ejekannya.

Aku tidak pernah berfikir bahwa aku akan menjadi istri yang menyajikan makanan di atas meja, atau menyiapkan pakainnya.  Dan tentang ia yang membuatkanku sarapan juga salah satu kado kecil yang diberikan Tuhan padaku.

Ezard yang tadinya dengan tega menyiram tubuhku, kini berjongkok tepat di hadapanku. Lelaki itu menyelipkan rambutku yang berantakan ke belakang telinga. Ia sedikit menggosok wajahku dengan telapak tangannya.

Pandangan mataku dan ia tak terputus sedikitpun. Tetapi aku tidak bisa membaca apa yang ada pikirannya saat ini. Ia menghela napas sebelum akhirnya menjatuhkan matanya pada kedua tanganku. Lalu menarik tanganku ke dekapan, menyembunyikannya diantara kedua telapak tangannya yang besar. Sesekali ia meniup ke dalam agar tanganku segera menghangat.

Lihat, bagaimana aku tidak jatuh cinta. Ia selalu memberikan perhatian layaknya seorang kekasih.






......

Season With You || Lee Jeno [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang