43. Naima Rosdiana

1.1K 86 3
                                    


۝ ͒⁠⁠۝ ۝ ͒

Ezard masuk ke dalam rumah dengan tidak melepaskan cengkeramannya di pergelangan tangaku, menyisakan bercak merah di sana. Entah sudah mati rasa atau karena Ezard mencengkramnya terlalu kuat sehingga aku tidak merasakan apa-apa.

Sepanjang langkah kami menuju lantai atas, aku hanya menunduk pasrah, memerhatikan lantai marmer rumah ini yang dalam hitungan jam akan kutinggalkan begitu saja.

Aku tidak boleh lemah, meski sebenarnya tidak tahu harus pergi kemana. Rumah yang lama sudah dijual, tidak mungkin tinggal di toko karena sekali lagi itu milik Ezard. Pun kalau itu millikku sendiri, aku tidak akan mengelolanya lagi.

Kenangan ini terlalu pedih, satu-satunya cara untuk melupakannya adalah meninggalkan kota ini, memulai kehidupan baru di tempat dimana tak ada satupun orang yang mengenalku.

Aku tidak sekalipun melakukan perlawanan atas apa yang ia lakukan kepadaku dari beberapa menit yang lalu. Sampai akhirnya aku menghentikan langkahku ketika Ezard berniat masuk ke dalam kamarku dan ia sebelumnya. Lelaki dengan rambut berantakan dan kemeja yang kusut itu memandangku.

"Aku tidak akan tidur di sana lagi." Aku berseru lirih, lelah sekali rasanya jika harus berdebat lagi.

Namun ia tak mengindahkan perkataanku, sehingga tetap menarikku agar masuk lebih dalam. Dan sekali lagi aku berusaha menahannya, hingga aku benar-benar tidak sepenuhnya masuk ke dalam kamar itu.

"Tidak, Ezard. Hatiku jadi sangat sakit ketika membayangkan bahwa tidak hanya kita yang bercumbu di kamar ini. Kau juga mengkhianatiku di tempat ini. Menipuku tanpa berkedip. Di awal pernikahan aku merasa bahwa menikah denganmu adalah mimpi buruk, tapi hari yang baik sedikit membuatku bahagia meski pada akhirnya menikah denganmu tetap jadi mimpi paling menyeramkan dalam hidupku."

Cengkramannya di tanganku mulai melunak, hampir seperti genggaman. Ia hendak memelukku, tapi tidak. Aku tidak akan membiarkannya dan memilih langkah mundur.

"Setidaknya sekali saja biarkan aku memelukmu, Nai."

"Aku akan tidur dengan Andre malam ini."

"Nai, hanya malan ini saja."

Ia tidak mau menyerah. Malah merengkuh pinggangku secara paksa, memberikan remasan gila disana yang biasanya membuatku merinding. Tapi demi Tuhan kali ini aku tidak merasakan apapun.

Apa dia mungkin berharap bisa membuatku luluh hanya karena ia ahli di bagian ini? Tidak! Aku bukan wanita seperti itu.

"Setelah tidur dengan orang lain kau masih menginginkanku? Seharusnya kau tinggalkan semua hal yang bisa membuatku meninggalkanmu, Ezard! Akulah satu-satunya yang harus kau jadikan acuan."

"Aku tidak menidurinya."

"Kau menciumnya! Tidak hanya sekali, tapi berkali-kali! Kau menyentuh tubuhnya! Kau menggaulinya di kasur kita, Ezard!"

Oh, aku kembali berapi-api.

Tidak ada yang perlu dijelaskan. Ezard sudah berselingkuh. Aku tidak ingin kembali pada pembohong sepertinya. Maka saat itu aku melepaskan rengkuhannya dan beranjak pergi, berjalan menuju kamar Andre.

۝ ۝ ͒⁠⁠۝ 

Pintu kamar yang menuju balkon itu terbuka sejak dini hari. Pagi sekali aku menyibak gorden kamarku, maksudku kamarku yang dulu bersama Ezard.

Angin yang datang dari luar menggoyang gorden dan membuat foto pernikahanku dan Ezard yang terpajang di tembok bagian depan tempat tidur jatuh ke lantai. Aku yang saat itu memasukkan pakaianku ke dalam koper sedikit terkejut.

Kemudian melihat sebentar, sebelum kembali pada kegiatanku yang tertunda beberapa detik. Aku tidak akan membersihkannya, tidak ada waktu untuk itu. Bibi Marti biasanya ke kamar, mungkin ia akan melihat pecahan itu dan menyingkirkannya agar tidak melukai kaki siapapun.

Jangan tanya dimana Ezard padaku. Karena jelas aku tidak tahu. Aku tidak ingin tahu juga. Tapi mengingat bagaimana aku masuk ke kamar pagi ini dan tidak menemukan keberadaan lelaki itu di dalamnya, membuatku menghela napas panjang. Entahlah –tapi rasanya seperti aku telah kehilangan sesuatu yang berarti dalam hidupku.

Mungkin saja ia sedang menggerayangi tubuh Alana di kamarnya. Oh, aku tidak tahu, tapi jelas mereka akan berbuat demikian.

"Aku yang akan pergi dari rumah. Kau tetap tinggal di sini bersama Andre." Suara dari luar membuatku berhenti dari segala aktivitas.

Aku memalingkan wajah ke arahnya. Lelaki itu kelihatan sama kusutnya seperti tadi malam. Rambutnya acak-acakan. Mungkin ia juga tidak mandi, karena pagi ini di hadapanku pakaiannya masih sama seperti tadi malam; kemeja hitam dengan lengan digulung asal hingga siku, kancing kemeja yang terbuka di bagian atas, dan celana kantor yang dibentuk sesuai proporsi kakinya.

"Kau darimana?"

Seharusnya aku tidak bertanya, tetapi hatiku tidak berhenti peduli.

"Aku ketiduran di ruang kerja dan baru bangun." Lelaki berwajah Eropa itu berjalan menuju tempat tidur, lalu duduk di tepiannya. "Nai, setidaknya tetap di sini. Di rumah ini."

"Aku tidak bisa." Aku menghela napas. Menutup koper.

"Aku akan carikan rumah, atau kau mau apartemen?"

"Tidak dengan keduanya."

"Nai, memangnya kau sudah ada tempat yang ingin dituju?"

"Itu bukan urusanmu."

"Aku tahu kau marah dan kecewa padaku, tapi tolong jangan tolak kepedulianku, Nai."

"Kita sudah memutuskan untuk berpisah, itu artinya sudah tidak ada lagi yang perlu dibicarakan. Lagi pula, aku tidak ingin berhubungan baik denganmu setelah perpisahan kita."

"Kau yang memutuskannya, bukan aku."

"Itu sama saja." Aku menarik pasukan oksigen sebanyak-banyaknya. Entah kenapa ruangan ini tiba-tiba jadi sangat sesak.

Di sini, aku ingin berhenti memikirkan tentangnya; keluar dari kamar ini dengan menggiring koperku. Tapi sayangnya apa yang kupikirkan detik itu tidak terjadi. Aku hanya berakhir dengan genangan air mata, memandang pepohonan hijau di luar sana lewat jendela. Entah apa yang membuatku tidak berhasil menyeret kaki keluar–atau mungkin aku tidak sepenuhnya ingin berlari dan meninggalkan Ezard dengan penyesalan yang akan membunuh jiwanya.

Tapi memaafkan pria itu dan menerimanya kembali adalah pilihan paling sesat. Sesuatu yang tak seharusnya kulakukan dalam hidup meski hatiku menyerukan namanya setengah gila. Walau pikiranku menderita membayangkannya setiap detik. Tidak ada jalan untuk kembali, aku telah dikhianati. Dia telah menganggap remeh arti sebuah kepercayaan yang kuberikan padanya.

Semua cinta, kesetiaan, pengorbanan, pengabdian, tidak berarti apa-apa dimatanya. Lalu untuk apa aku berdiri di sampingnya dan menerima semua kesalahannya di saat ia sudah dengan pasti akan menghancurkannya kembali.

Pada akhirnya, aku selalu kembali pada kenyataan bahwa satu-satunya yang bisa peduli lebih banyak padaku; hanyalah aku. Maka dengan segala cara, aku harus melindungi satu-satunya yang kumiliki dalam hidup ini; diriku sendiri.

Dan salah satu cara agar aku bisa menyelamatkan hidupku adalah dengan meninggalkan Ezard yang telah berubah menjadi luka untukku. Keputusanku; aku tidak akan menanggung beban lebih banyak dari batas kesebaranku. Aku selalu ingatkan pada diriku sendiri; aku tidak harus berkorban lebih banyak atas nama cinta, aku tidak boleh hilang akal dan melupakan harga diri yang harus kujaga lebih baik dari yang lain.

"Aku menyadari satu hal. Aku mulai mencintaimu, Nai."

Ia memecah keheningan, aku tidak memalingkan wajah ke arahnya. Masih bertahan dengan mata yang melihat ke arah burung-burung kecil yang berterbangan di atas pohon.







.......





Season With You || Lee Jeno [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang