23 Naima Rosdiana

1.4K 124 3
                                    



 ⁠۝  ͒⁠⁠۝  ⁠۝ ͒

Sekarang.

Mbak Aluna duduk dengan nafas tersengal-sengal di hadapanku, Kiki dan juga Aeri. Dia sebuah kursi panjang yang bisanya digunakan oleh pelanggan toko yang menunggu pesanan bunganya selesai dikemas.

Dan entah energi dari mana yang menggerakkan kaki Mbak Aluna datang ke tokoh bungaku pada pagi yang cerah ini. Setelah ia selesai bertengkar dengan sahabatnya tadi.

"Berikan aku minum!" Ia berseru.

Aku terbelalak keheranan melihat tingkahnya. Apa yang dia katakan? Jelas-jelas dia yang mempunyai kedai teh dengan banyak minuman di dalamnya. Dan jangan lupa ia juga meninggalkan kedainya yang tengah ramai oleh bapak-bapak yang menunggu istrinya yang sedang berbelanja.

"Tunggu sebentar, Mbak." Aku mengehela napas panjang. Benar-benar panjang sebelum akhirnya melangkah ke belakang dan mengambil segelas air putih dan memberikannya pada Mbak Aluna.

"Makasih." Perempuan itu berujar. Kemudian memperbaiki posisi duduknya dan merapikan rambut ikalnya yang sedikit berantakan.

Ia tampak kelihatan lebih mudah lima tahun dari usianya ketika memakai dress sepaha berwarna hitam dengan wajah Inggris yang kental.

Desas-desusnya, ia adalah seorang gadis keturunan bangsawan yang waktu itu pernah berlibur ke Bali.

Hust!

Aku menggosip lagi! Padahal baru saja beberapa menit yang lalu Mbak Aluna bertengkar dengan sahabatnya karena tidak suka urusannya di campuri orang lain.

Tapi, kalau dilihat-lihat lagi. Mbak Aluna memang kelihatan sangat cantik. Ia tinggi, putih, langsing, bentuk tubuhnya seperti gadis Eropa kebanyakan. Lebih-lebih ia blasteran Bali-Inggris. Bisa kalian bayangkan betapa cantiknya Mbak Aluna.

Sayangnya, Mbak Aluna lebih memilih tinggal di Jakarta ketimbang Bali, kota kelahiran ibunya. Tempat ia dibesarkan dan kota yang seharusnya menjadi tempat paling nyaman. Karena jelas kehidupan di Bali sangat berbeda dengan kehidupan di Jakarta.

Orang-orang di Bali mungkin lebih individualis dan tidak peduli dengan urusan orang lain. Sementara di kota metropolitan seperti Jakarta, kau mungkin masih menemukan mulut tetangga yang mencacimu hanya karena kau membawa pacarmu tengah malam ke dalam rumah.

Ah! Sudahlah! Lupakan sejenak tentang masalah Mbak Aluna dan sahabatnya tadi. Sekarang aku hanya ingin fokus pada berkas-berkas di atas meja kerjaku dan mengatakan pada Aeri lebih baik ia menyuruh Mbak Aluna keluar dari tokoh ini sebelum orang-orang di kedainya datang ke tokoku, lalu mengantri untuk membayar teh hangatnya yang sudah tandas dan berkahir di toilet-toilet umum yang ada di negeri ini.

Hal seperti ini sering terjadi, tidak sekali dua kali saja. Ketika selesai bertengkar dengan Mbak Rania, Mbak Aluna akan memenangkan dirinya dan duduk di kursi panjang di dalam tokoku. Kemudian, pelanggannya akan mengantri di depan tokoku untuk membayar tehnya.

Benar-benar menjengkelkan!

 ⁠۝  ͒⁠⁠۝  ⁠۝ ͒

19:23.

Langit sudah sepenuhnya gelap dan bintang sudah bertaburan di atas sana. Kali ini aku tidak bisa menepati janjiku untuk pulang seperti jadwal yang telah ditetapkan.

Pukul enam sore, batas terakhirku berkeliaran di luar rumah. Aku menghela napas berat, sangat berat ketika melihat mobil hitam sudah terparkir di depan mataku.

Ya, Paman Gober sudah datang menjemput. Lelaki itu yang akan menemaniku berbicara sepanjang jalan ke rumah. Tidak ada hal-hal penting yang dibicarakan. Hanya saja ia lebiu suka membicarakan tentang pemerintahan negri ini, atau masalah paling ringan adalah bagaimana perkembangan toko kecilku.

Season With You || Lee Jeno [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang