͒ ͒
Hidupku berjalan begitu saja. Seperti aliran sungai yang membawa ikan kecil ke hilir. Aku terus mengikuti arus seperti seorang pengecut. Berekspresi seperti yang orang-orang inginkan dan bertingkah di luar kemauanku.
Tidak sempat lagi memikirkan perasaanku pada Ezard yang mungkin tidak akan pernah ada balasannya. Karena jelas di awal pernikahan ia menekankan bahwa ia tidak mau mencintaiku dan tidak akan pernah juga.
Aku hanya bisa mengatur ekspresi seperti seorang istri yang baik yang mencintai suaminya dengan amat sangat; dan itu sama sekali tidak palsu. Menunggunya di depan pintu dan memeluk tubuhnya. Membuka jasnya kemudian, dan bertanya bagaimana ia melewati hari-hari.
Sejauh ini tidak masalah bagiku. Karena seperti yang kukatakan, aku akan memberikan haknya dan melakukan kewajibanku. Begitu pun dengan Ezard, ia akan memberikan hakku dan melaksanakan kewajibannya.
Jika kalian bertanya apa yang membuatku bertahan di rumah ini sekarang, tentu jawabannya sangat pasti; uang. Tidak ada jawaban lain yang kupikirkan saat ini.
Ia membiayai aku dan kedua adikku, pun ia tidak menuntut banyak diluar kemampuanku, ia juga memperlakukanku dengan sangat baik, ia membuatku menikmati posisiku saat ini dan juga menghormatiku sebagai seorang perempuan.
Jika suatu saat ia bosan denganku dan mulai memikirkan kiat-kiat untuk berselingkuh, maka tanpa perlu ia memberikan penjelasan padaku, aku akan langsung meninggalkannya.
Aku membalikkan badan, memandangi wajah paripurna suamiku. Sedikit menggeser selimutnya yang merosot karena pergerakkanku tadi untuk menutupi lengan telanjangnya. Aku tersenyum kemudian mulai menyentuh rahang tegas suamiku ini.
Wajahnya seperti wajah lelaki Eropa kebanyakan, hidungnya mancung, tapi matanya sipit, dan katanya lebih mirip seperti mata ibunya, bibirnya tipis berwarna merah muda. Ketika tertidur aku selalu melihatnya seperti seorang malaikat yang menyamar; wajah yang polos dengan hati dan pikiran yang begitu suci.
Namun, ketika ia terbangun dan menatap wajahku dengan tatapan yang entah mengisyaratkan apa. Aku selalu melihatnya sebagai lelaki yang bijaksana, lembut, penuh cinta, pengertian, tidak banyak tingkah dan setia; semoga saja, karena tidak ada yang lebih buruk dari pengkhianatan di dunia ini bagi para istri yang teramat mencintai dan menghormati suaminya.
Aku tersenyum memperhatikan bayi besar yang masih belum ingin sadarkan diri. Hingga fokusku taralih pada puncak kepala Ezard yang berantakan. Rambut hitam legamnya benar-benar acak-acakan. Hingga dengan senang hati aku menyelipkan jari-jariku di sana dan sedikit merapikannya.
Hingga kemudian...
"Selamat pagi."
Suaranya parau. Khas suara seseorang yang baru bangun tidur. Namun berbeda dengan pendengaranku yang terlanjur kotor dan dipenuhi oleh suara Ezard ini. Suaranya terdengar serak dan seksi secara bersamaan. Lebih-lebih ketika ia menyerukannya dengan nada pelan setengah berbisik.
Ah!
Aku mungkin tidak akan bisa lagi berpijak di atas tanah saat itu saking terpelanting jauh ke luar angkasa hanya karena suara seksi Ezard.
Aku tersenyum lagi ketika ia mencium puncak kepalaku hingga berakhir di bibirku. Kegiatan rutin sebelum ia benar-benar beranjak dari tempat tidur. Kecuali aku dan ia akan absen melakukannya ketika lelaki itu sibuk dan berangkat pagi sekali karena pekerjaan dan hanya meninggalkanku dengan sebuah kecupan ringan di dahi, mengelus lenganku, kemudian memperbaiki selimutku, sebelum melangkahkan kaki keluar dari kamar.
Dan saat itu, aku hanya akan menjadi orang yang paling merana. Karena sejatinya, aku tidak pernah benar-benar merasa tenang ketika ditinggalkan sendirian.
Dia tampan, wanita cantik bisa saja mencurinya dan menggodanya di jalanan. Dia cerdas, wanita berkelas mungkin akan tertarik dan melirik lebih banyak padanya. Dan jangan lupakan fakta bahwa wajah paripurna suamiku itu kini menghiasi majalah-majalah ternama.
Namanya beberapa kali dicetak dengan tulisan besar di koran-koran karena pencapaiannya dalam dunia bisnis beberapa bulan belakangan. Media internet juga membicarakan suamiku itu. Kenapa juga ia mengambil alih bisini keluarga? Itu membuatku repot memikirkannya setiap detik.
Huh!
Aku merasa cemburu sekarang. Cemburu pada angin yang menyentuh kulitnya. Cemburu pada berkas-berkas yang lebih sering ia lihat ketimbang wajahku. Cemburu pada agenda hariannya yang membuatnya lebih sering berada di luar rumah. Dan cemburu pada hal-hal remeh lainnya yang seharusnya tidak pernah kupermasalahkan.
"Kau baik-baik saja, Nai?"
Tiba-tiba lengan Ezard menarikku untuk lebih merapatkan diri ke tubuhnya. Membuat lamunanku buyar dan jiwaku berantakan. Ia mendekapku dengan kehangatan yang sungguh sangat menenangkan. Rasanya selalu damai ketika berada di dalam kungkungan tubuh Ezard.
"Kemarin Kiara ke rumah." Aku memulai. Dengan fokus yang tak beralih pada obsidian bulat terangnya. "Aku benar-benar tidak suka dengan kelancangannya."
Sebenarnya aku bukan tipikal wanita yang mudah terbakar api cemburu. Tetapi tetap saja Kiara adalah lampu bahaya untuk keberlangsungan rumah tanggaku ini.
Aku benci orang ketiga. Aku benci drama dimana aku harus menjadi wanita yang tersiksa karena membayangkan suaminya tidur dengan wanita lain di kamar hotel.
Aku benci ditinggalkan dengan air mata karena melihat suamiku menggenggam tangan wanita lain. Memilih melampauiku dan berlari ke arah wanita itu. Itu adalah ada mimpi buruk yang tidak akan pernah diimpikan wanita manapun di dunia ini.
"Aku yang menyuruhnya, Sayang. Katanya, kau butuh rekomendasi kebun bunga." Ia memberi penjelasan, meski sebenarnya hatiku sama sekali tidak puas dengan jawaban suamiku ini.
"Kau bisa menyuruhnya ke toko. Lain kali jangan biarkan dia ke rumah, aku benar-benar tidak suka wanita itu." Aku menghela napas. Hendak melapaskan diri dari kungkungan otot besar Ezard. Tapi lelaki itu malah menarikku lebih dalam ke sisinya.
"Kau cemburu?" Lelaki itu tersenyum diikuti dengan matanya yang menghilang.
Sungguh, jika aku tidak menemukannya dengan wajah seimut ini, aku mungkin akan langsung menendangnya. Tidak peduli kalau nantinya ia bisa saja mengalami patah tulang.
"Siapa yang tidak cemburu?" Aku membuang beban berat di kepalaku bersama helaan nafas panjang yang entah sudah keberapa kali. Masih dengan mataku dan Ezard yang saling bertatapan. "Dia cantik, cerdas, berkelas, pandai berbicara, tubuhnya juga bagus. Katakan, lelaki mana yang tidak akan tertarik padanya? Bahkan kau hampir—"
Bibirnya mendekat dan menciumi bibirku, melumatnya dengan tempo halus. Tiba-tiba saja, bahkan aku masih terkejut sampai detik dimana aku menceritakan ini. Ini masih pagi, tapi Ezard sudah membuatku kepanasan.
Laki-laki itu menjalari lenganku dan menangkup pipiku dengan kedua telapak tangannya. Ia bergerak cepat dengan nafas memburu dan memposisikan dirinya di atasku.
"Ezard...."
"Jangan katakan itu lagi. Tidak ada yang lebih penting dari dirimu, Nai," bisiknya sebelum akhirnya ia melumat habis diriku.
"Ezard...." Aku masih mengeluh, meski menikmatinya. Tetapi tetap saja aku ingin bicara serius dengannya saat ini. Bukan berkahir kepanasan dengan isi kepala yang sudah berantakan ulah suamiku yang baik hati ini.
"Hentikan, aku ingin bicara denganmu...," ujarku di sela-sela ciuman hingga membuat Ezard semakin memperdalamnya.
"Nanti saja."
Habislah aku. Tidak ada gunanya bernegosiasi dengan Ezard perihal ini. Dia lelaki gila yang tidak akan mendengarkan siapapun di saat-saat seperti ini.
Lupakan adegan ini! Dan mari lanjut ke adagan berikutnya!
.......
Terimakasih 💚
..
Eh, jangan lupa tinggalin jejak .
.......
KAMU SEDANG MEMBACA
Season With You || Lee Jeno [✓]
Romance🔞"Cintai aku sekali lagi. Jika seumur hidup terlalu berat, maka cukup satu menit saja," ucap lelaki itu, penuh harap. || Copy Right 2020 || Start April 2020