28. Naima Rosdiana

1.3K 126 0
                                    

⁠۝ ͒ ⁠⁠۝  ⁠۝ ͒

"Karena hari ini kau tidak masuk kantor. Kau bisa berkunjung ke toko bungaku dan melihat perkembangannya."

Aku berbicara padanya. Pada lelaki yang seperti hari-hari biasa. Jika tidak pergi bekerja, maka ia akan sibuk dengan laptop dan berkas-berkasnya di atas meja.

Sekarang, aku dan lelaki sibuk ini berada di bawah pohon di belakang rumah. Duduk di atas gazebo mini yang setiap tiangnya dililit oleh akar tumbuhan.

"Kau tidak lihat, Nai. Aku sedang sibuk."

"Selalu sibuk." Aku mengehela napas.

Lebih menyenangkan mendengar pertengkaran Mbak Aluna dan Mbak Rania perihal hidup ketimbang duduk membatu di depan Ezard yang tidak berusaha membicarakan apapun denganku.

Akhir-akhir ini, aku benar-benar merasa seperti wanita yang sungguhan dipajang saja!

"Kau serius dengan ucapanmu yang ingin menjadikan perusahaan propertimu menjadi nomor satu di Asia?"

Aku tiba-tiba saja teringat ucapannya tempo hari.

"Memangnya kenapa, Nai?" Pemuda 27 tahun itu menghela napas. Ia mengalihkan atensinya padaku sebentar sebelum akhirnya kembali melirik dengan sayang pada laptop sialan itu.

"Sudahlah, Ezard. Lupakan semua itu dan nikmati hidup ini. Setidaknya ketika bersamaku, kau tidak boleh memikirkan yang lain!" Aku mulai sangsi!

"Nai, setidaknya kau beruntung. Aku hanya bermain dan melirik berkas-berkas. Akan lebih menyedihkan kalau aku melirik perempuan lain."

Aku mengehela napas yang rasanya amat berat. Mengedarkan pandangan ke sekitar. Yang pertama kali kulihat adalah pagar tembok yang menjulang tinggi hingga membuat penglihatanku terbatas. Tetapi sayangnya isi kepalaku tak pernah sebatas tembok yang memisahkan jalanan kota dan rumah ini.

Di bagian yang lain, bunga-bunga bermekaran indah; anyelir, tulip, anggrek dan jenis lainnya yang aku tidak tahu apa. Aroma daun kering yang memenuhi halaman menguar dengan kuat. Matahari sudah berada di atas puncak kepala manusia.

Aku menengadah, mengamati daun pohon palem yang bergerak diterbangkan angin. Sinar matahari di atas sana kadang menyentak mataku, membuatnya ngilu ketika sinar itu menyelusup melalui sela-sela dedaunan.

Rasanya tenang.

Dan hatiku menjadi sedikit lapang.

"Ezard...." Aku memulai kembali.

"Hm."

Aku tahu ia akan berdehem saja ketika aku memanggil namanya.

"Apa kau akan meninggalkanku jika punya pilihan yang lebih baik?"

Hening.

Lelaki itu tak menjawab. Aku masih tidak diacuhkan.

"Aku tidak semudah itu berganti pasangan." Lelaki itu tiba-tiba mengeluarkan suara.

Aku tersenyum kecut dan semakin membiarkan angin melambai di wajahku. Tidak ada yang lebih tenang dari desauan angin dan aroma pepohonan di tengah-tengah polisi kota ini.

"Lalu apa yang kau harapkan dari hubungan kita?" Kali ini, aku membiarkan mataku menatapnya. Menatap lelaki setengah Eropa yang kini juga telah memfokuskan pandangannya pada diriku saja.

"Alih-alih mempertanyakan hal seperti itu. Kau hanya perlu memastikan hati dan pikiranmu itu agar tetap berdiri di sampingku dan menemaniku sampai kapanpun." Iris matanya yang tajam menembus, mungkin kini sudah menembus bagian terdalam hatiku.

Season With You || Lee Jeno [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang