͒ ͒
"Kau memikirkan apa?" Suaranya yang lembut mengembalikanku sepenuhnya pada kesadaran.
"Nai, bagaimana kalau Minggu besok kita ke panti saja dan ke tempat-tempat yang kau inginkan lainnnya?"
Wanita itu masih dalam rengkuhanku. Aku tak melepasnya meski ia sudah tidak memasangkan dasi di leherku. Kali ini tangannya justru bergerak menelusuri rahangku, bagian favoritnya.
"Kau ada masalah, Sayang?"
Aku menghela napas. Bukannya aku ada masalah sehingga mengajaknya untuk benar-benar berlibur. Aku hanya sedang berusaha mewujudkan keinginannya dalam waktu dekat. Juga sebagai permintaan maafku karena telah mengabaikan keinginan-keinginan kecilnya selama ini.
"Memangnya untuk mewujudkan keinginanmu aku harus bermasalah dulu?"
"Siapa tahu kau ditimpa kesulitan dan kemudian merasa bersalah padaku juga."
"Aku memang selalu merasa bersalah padamu, Nai."
"Kau memberikan apapun yang aku mau. Apa lagi memangnya yang aku inginkan selain kau di sisiku, Ezard?"
Aku berdecih, memalingkan wajah pura-pura tidak tertarik. Ayolah wanita muda di depanku kini sedang berusaha merayuku! Ia mengambil bagianku! Aku bukannya tidak suka, hanya saja aku kebingungan mengatakan apa setelahnya.
Tidak ada yang bisa kulakukan selain menyentak pinggangnya hingga lebih rapat padaku. Reflek saja ia kemudian melingkarkan kedua tangannya di leherku. Aku tersenyum puas ketika mendapati keterkejutan di wajahnya yang lembut.
"Jangan gunakan baju ini untuk ke luar rumah. Aku tidak suka berbagi lekukanmu dengan orang lain, Nai. Bahkan tidak sudi jika mereka baru ditahap membayangkannya."
Aku memberikan sentuhan halus di area pinggangnya hingga membuat Naima menarik pasokan oksigen di sekitarnya lebih banyak.
"Ezard...."
"Apa?" Aku berbisik halus di telinganya dan menjempit ujungnya dengan bibirku. Menggigitnya sedikit, membuat Naima bergerak gelisah.
"Ya Tuhan ini bahkan masih pagi."
Gadis itu mengeluh ketika aku mencium permukaan leher bagian belakangnya sebentar. Hanya ingin membuatnya ikut menegang. Tidak adil rasanya jika hanya aku saja yang merasa kesusahan menahan semuanya sepanjang hari.
"Lepaskan aku!"
Ia kali ini sungguhan berontak ketika aku dengan kurang ajarnya hendak memasukkan tanganku ke dalam—
Maaf.
Bajunya!
Aku langsung melepaskan Naima ketika wanita itu memang tidak bisa lagi kukendalikan. Aku mengehela napas panjang dan mencoba mengenyahkan pikiran kotorku sepagi ini.
Ah sialnya! Aku benar-benar mengeras seperti batu es sekarang!
Dengan mencoba bertindak positif, aku mengambil ponsel di atas nakas segera, memasukkannya ke dalam saku. Kemudian–mengalihkan fokus pada laptop di atas meja, hendak memasukkannya ke dalam tas, padahal biasanya aku menentengnya begitu saja.
Ah gila! Mungkin Naima tertawa terbahak-bahak dalam pikirannya saat ini. Aku tahu itu. Meski yang ia tampilkan detik ini hanya wajah anggun polosnya yang manis.
Seperti tidak tahu apa-apa!
Padahal jelas, aku belum bisa santai.
"Bagaimana dengan toko bungamu?"
Pertanyaan macam apa itu? Aku bahkan sudah menanyakan hal itu jauh sebelum aku dan ia berdiri di sini dengan pakaian lengkap.
Sudahlah, Ezard! Jangan mempermalukan diri sendiri. Kau bahkan sudah menanyakan hal itu untuk yang ketiga kalinya.
Pertama, saat matahari belum terbit. Saat itu wanita cantik di depanmu ini sudah menjawab dengan rinci. Tepat. Efektif. Dan mudah dipahami. Kau bahkan juga memberikan pertanyaan lanjutan tentang siapa saja yang membantunya di toko kemarin, atau apakah ia akan ke toko pagi ini.
Bodoh! Ezard tiba-tiba jadi bodoh hanya karena seorang wanita! Dan itu pun istrinya sendiri.
Kedua, saat kau selesai mandi; kau bahkan menutup telingamu karena nenek sihir yang kau nikahi itu marah-marah sebab merasa kau tidak mendengarkan ucapannya sepanjang diinginnya dini hari tadi.
Dan yang ketiga, saat ini. Saat dimana kau berakhir kikuk dan tidak tahu harus melakukan apa.
Ouchhh!
Aku benar-benar tidak bisa memahami diriku sepenuhnya.
"Aku yakin kau sakit jiwa!" Wanita itu memakiku!
Aku tidak memberikan perlawanan apapun.
"Tidak, lebih tepatnya geger otak." Aku ikut mengatai-ngatai diriku sendiri.
͒ ͒
Aku selalu mengira bahwa aku tidak akan jatuh cinta pada apapun seleian pekerjaannku. Meski banyak teman di dunia bisnis yang memberikan foto-foto wanita cantik untuk kujadikan pasangan hidup. Tetapi semua itu tidak berguna sama sekali, sampai Naima datang dan menawarkan sesuatu yang tak akan pernah kudapat di lain tempat; cinta dan ketulusan.
Mungkin jika aku menikah dengan salah satu wanita yang pernah direkomendasikan orang-orang, aku tidak akan merasa seberarti ini dalam kehidupan seseorang. Aku tidak akan merasakan rindu yang menggebu ketika lama di kantor dan tidak kunjung pulang ke rumah, saat-saat itu rasanya aku ingin melompat saja dari atas gedung karena tidak tahan dengan kepalaku yang terus saja memikirkan Naima.
Wanita-wanita lain yang datang dalam hidupku sebagiannya direkomendasikan karena mereka anaknya, saudaranya, temannya, atau sekedar reken bisinis yang ingin melarikan diri dari pekerjaan dengan jalan pernikahan. Bukan karena mereka benar-benar tertarik padaku, hanya saja mereka tertarik pada uang-uangku dan menyukainya lebih banyak.
Siapa yang ragu menyerahkan putrinya padaku? Tidak ada!
Sejauh ini aku pria mapan. Menjanjikan masa depan yang cerah. Dan bisa kupastikan jika kau menikah dengannku kau tidak akan kekurangan uang sepersen pun, walau aku tidak bekerja selama satu tahun penuh. Uangku juga sanggup membiayai lima turunan dengan gaya hidup yang hedon sekalipun.
Dan lihat Naima. Baru menikah 9 bukan denganku ia sudah merasa sangat bosan dengan semua yang kuberikan padanya.
Ia jarang sekali marah, tetapi tidak pandai menyembunyikan kekesalannya. Dia beberapa kali mengeluh karena tidak tahu harus melakukan apa di rumah, meributkan hal-hal kecil seperti kenapa aku menaruh handuk basah di atas meja riasnya untuk sekedar menumpahkan kekesalannya di pagi buta saat aku selesai mandi, dia juga sering meminta agar aku menemaninya ke pusat perbelanjaan untuk sekedar jalan-jalan sore melepas beban di kepalanya, atau juga mengomeliku di depan pintu karena perutnya sakit dan ia menanyakan peranku sebagai suami yang baik saat itu dimana.
Dan biasanya aku hanya menyahuti kegelisahan-kegelisahan Naima dengan sebuah senyuman, memeluknya dan mencium bibirnya sebentar. Lalu wanita itu akan merasa baik-baik lagi, meski aku tidak yakin juga dengan itu.
Pernah suatu hari ia sangat marah, berbeda dari biasanya yang hanya sekedar mengeluhkan tentang agenda hariannya yang itu-itu saja.
Menyiapkan diriku ke kantor–menunggu di rumah sambil menonton TV–menyambutku di depan pintu saat aku pulang–makan malam bersama–mengobrol sebentar–lalu tidur.
Huft!
Disaat Naima bingung mau melakukan apa, aku malah disibukkan dengan pikiran bahwa kapan hari santaiku tiba.
"Cukup! Aku benar-benar tidak tahan dengan kehidupan hampa yang kujalani saat ini!" Suatu pagi ia pernah mengomel begini. "Demi Tuhan kalau aku tidak cepat-cepat melakukan sesuatu, aku mungkin gila dalam waktu dekat dan berakhir di rumah sakit jiwa!"
Sebelum menikah denganku wanita ini banyak kegiatan, sibuk sekali setiap harinya bekerja untuk membiayai dua adiknya. Aku memahami hal ini lebih baik tanpa perlu dijelaskan. Karena sejatinya, Naima bukan wanita yang mau menerima uluran tangan seseorang dengan tangan terbuka.
Dan saat itu aku hanya tersenyum padanya, lagi. "Apa kau tidak puas dengan apa yang kuberikan padamu, Nai?"
.......
![](https://img.wattpad.com/cover/216569699-288-k815229.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Season With You || Lee Jeno [✓]
Romance🔞"Cintai aku sekali lagi. Jika seumur hidup terlalu berat, maka cukup satu menit saja," ucap lelaki itu, penuh harap. || Copy Right 2020 || Start April 2020