27. Naima Rosdiana

1.3K 121 0
                                    

⁠۝ ͒ ⁠⁠۝  ⁠۝ ͒

"Non." Bibi Marti menghela napas. Kini ia tidak lagi melanjutkan potongan wortelnya. Melainkan duduk di sampingku dan menawarkan segelas minuman yang baru saja dituangnya. "Sejujurnya, bagaimana Tuan Ezard di masalalu tidaklah penting. Karena kita tidak berjalan mundur dan hidup tidak di setting untuk terus berpatokan pada masalalu."

Perempuan itu kemudian menggenggam kedua tanganku dengan erat. "Bagaimana lelaki itu hari ini, dan di masa depan, hanya itu yang perlu Nona pikirkan. Kita tidak bisa mengubah masalalu seseorang hanya karena kita merasa bahwa kita lebih suci dari dia. Dan bagaimana Tuan Ezard menjalani hidupnya saat ini, adalah hal yang pasti sudah dipikirkannya matang-matang."

"Ingatkan saja pada hati, Non. Ketika lelaki itu tidak bisa menyempatkan diri untuk sekedar makan malam bersama di meja makan, ia selalu menjadi sosok yang paling hangat dan tidak menuntut banyak. Tidak melupakan tugas penting dalam hidupnya. Tidak melupakan kewajibannya sebagai seorang suami dan kepala keluarga. Ketika dia melupakan hari ulang tahun Nona dan tidak sempat memberikan bunga, ia justru memberikan hadiah yang lebih besar, kenyamanan dan perhatian. Ketika ia melupakan hal-hal kecil yang seharusnya tidak pernah ia lewatkan dalam perbincangan, ia justru bertanggung jawab atas hal-hal besar dalam hidup, Nona. Sekali lagi, ini semua tentang penyerahan diri dan kepuasan. Mau sampai mana Nona memberikan standar untuk sebuah kepuasan?"

"Karena jelas saja, memiliki seorang yang gila kerja di sisi, kamu harus siap sedia bila ia membagi waktunya dengan pekerjaan. Memiliki seorang lelaki yang malas bekerja, kamu harus tegarkan hati dan tulang bila ia membebankan tanggung jawab keluarga padamu."

Aku menghela napas panjang. Bibi Marti bisa saja batal memasak untuk makan siang kalau aku terus mengajaknya mengobrol begini.

Maka detik berikutnya aku menyanggul asal rambutku dan berkata padanya, "Bibi mau buat menu apa hari ini? Ada yang bisa kubantu?"

Bibi Marti tersenyum, lagi! Entah sudah berapa kali ia tersenyum pagi ini padaku, aku tidak bisa menghitungnya. Tetapi aku cukup senang karena mengobrol dengannya bisa sedikit meringankan beban berat di hatiku yang rasanya sudah siap menghancurkan pertahanan jiwaku yang berantakan ini.

"Bibi hanya akan buat goreng ayam dan seblak, Non. Masalahnya bahan masakan sudah habis, mungkin besok Bibi akan belanja ke Pasar. Belum tahu mau masak apa untuk nanti malam. Tidak biasanya bahan untuk dimasak habis secepat ini. Biasanya masih ada sisa."

Aku hanya mengerucutkan bibir ketika Bibi Marti mulai mengeluh perihal masalah dapur. Jangan tanya padaku tentang permasalahan di dapur, karena akhir-akhir ini aku tidak ikut campur lagi masalah ini.

Sambil menemani Bibi Marti yang saat ini tengah menggoreng ayam, aku mencuci wortel yang tadi sudah di potong-potong.

"Apa Bibi pernah jatuh cinta?"

Lagi-lagi perempuan tua itu dibuat geleng-geleng karena pertanyaanku yang ada-ada saja.

Baiklah, tolong maklumi tingkah perempuan yang beberapa bulan yang lalu sudah berusia 20 tahun. Masih banyak yang ingin kuketahui tentang cinta dan perintilan-perintilannya.

"Siapa yang peduli pada kisah cinta wanita tua, Non?" Bibi Marti terkekeh. Sementara tangannya mengambil dua biji bawang dan memotongnya kecil-kecil.

"Aku, Bi. Tentu, siapa lagi di rumah ini yang peduli dengan hal-hal semacam itu? Lagi pula, hanya aku yang merasa dibodohi oleh cinta. Hingga merelakan diriku terperangkap di rumah besar ini atas nama cinta." Aku memutar bola mata malas. Setelahnya, aku menaruh wortel yang sudah siap kucuci di samping Bibi marti.

"Bibi pernah dilamar lelaki tua." Perempuan itu memulai. "Dia tidak tampan, tapi berkarakter. Bijaksana. Murah senyum. Dan tidak memaksakan kehendak. Tapi sayangnya malah mau dijadikan istri kedua."

"Demi Tuhan Bibi harus menolaknya!"

"Karena itulah Bibi ada di sini sekarang."

Aku tidak percaya ada kisah seperti itu. Aku geleng-geleng kepala sendiri. Masih terheran-heran dan tidak mengalihkan atensiku dari Bi Marti yang saat ini sudah mengangkat ayam yang sudah di goreng di atas wajan.

"Apa Bibi mencintai lelaki sialan itu?!"

Aku berapi-api. Tentu! Tidak ada wanita yang ingin dimadu di dunia ini. Bahkan ketika Ezard meminta dengan raga yang separuh stroke padaku, aku tetap tidak akan mau membagi segalanya!

"Gadis mana yang tidak jatuh hati pada pria yang menghargai hak-haknya. Menghormati keputusannya. Mendengarkan setiap penjelasannya. Menggandeng tangannya saat berjalan beriringan. Atau membiarkannya berjalan lebih dulu jika itu hanya jalan setapak. Memasangkan sepatunya. Para gadis selalu jatuh cinta dengan kehangatan seperti itu."

"Aku merasa dia seorang playboy dari cara Bibi mendeskripsikannya."

"Ketika jatuh cinta. Kita akan menutup seluruh pendengaran dan penglihatan. Mengabaikan bisikan orang yang mengatakan kalau dia bukan pria yang sebenarnya kita cari, dia bukan pria yang pantas. Tetapi sekali lagi, hati tidak membiarkan kita untuk berlari meninggalkan pria itu. Sehingga kita memilih membutakan mata dan menulikan pendengaran kita, mengabaikan semua bisikan-bisikan tentang pilihan baik yang seharusnya kita ambil. Dan pada saat kita menyadari bahwa kita melakukan kesalahan besar, semuanya sudah terlambat."

"Wanita memang sering kali mengambil pilihan-pilihan yang salah dalam hidupnya." Aku menganggukkan kepala. Setuju saja dengan apa yang dikatakan Bibi Marti.

"Sedang membicarakan apa?"

Ah! Itu suara bariton Ezard. Spontan saja aku memandang jam di pergelangan tanganku dan berbalik padanya.

"Sudah pukul sebelas. Maafkan aku, aku agak kelelahan dari kemarin." Ia tersenyum lembut dan hampir saja memelukku kalau saja aku tidak menghindar.

Sengaja.

Ini yang namanya tarik ulur dalam sebuah hubungan pria dan wanita. Ketika kau mengatakan kau mencintainya, kau harus menunjukkan sikap sebaliknya. Ketika kau mengatakan kau tidak mencintainya, kau harus memberikan perhatian lebih. Agar dia kebingungan. Agar kaum pria yang terlalu liar ini merasa selalu tertantang.

"Kau belum mandi?"

Itu hanya alasanku saja. Tanpa perlu Ezard mendekat padaku, aku tahu kalau ia sudah mandi.

Ezard selalu memiliki sisi yang sulit ditebak.  Karena itu aku juga akan mengikuti langkahnya di bagian ini. Terkadang dia perhatian, menyenangkan dan menyebalkan lebih banyak, oleh karenanya aku harus mempertebal kemampuanku untuk membacanya.

"Aku sudah harum, bahkan." Lelaki itu berujar kebingungan. Ia mengendus-endus tubuhnya sendiri. Langkahnya masih berusaha menjangkauku yang perlahan menyesuri dinding kaca rumah ini. Hendak ke bagian belakang rumah, tenpat ikan-ikan warna-warni dan beberapa pohon rindang yang menyegarkan.

"Aku yakin kau memakai minyak wangi yang salah." Aku tersenyum mengejek.

Sadar kalau aku sedang mengerjainya, ia pun menghela napas jengkel. Kemudian sedikit berlari mengejarku. Lengan berototnya hampir saja memeluk pinggangku. Tetapi sekali lagi aku bisa mengelak.

Oh Tuhan! Ia kelihatan sepuluh kali lipat lebih menggoda hanya dengan menggunakan kaus putih polos dan celana kaus panjang yang agak kebesaran berwarna hitam. Aku tidak memahami kenapa ia bisa setampan itu.

"Kau mau bermain, Nai?"

Ia menyunggingkan senyum menggoda yang khas!






.......

Thank you💚

.......

Season With You || Lee Jeno [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang