52. Ezard Wattson

1.3K 93 11
                                    


⁠۝ ͒⁠ ⁠۝ ͒⁠ ۝ ͒⁠ 

5 bulan berikutnya....

Aku duduk dengan pandangan keluar jendela. Kaca mobil kabur karena hujan deras. Entah kunjungan yang keberapa, tapi yang pasti dari kunjungan ini, Naima selalu menolakku. Mungkin ini akan jadi terakhir kalinya aku meminta.

Jaket kulit berwarna krem yang kukenakkan lebih dari cukup sebagai pelindung diri dari hujan deras ini, tapi fakta bahwa kesempatan kedua tidak diberikan Naima padaku membekukan hatiku. Pemandangan basah di jalanan, halaman rumah Naima yang tergenang, serta pohon palem di depan rumahnya yang damai terlihat berat menahan air, menggetarkan hatiku.

Sudah dua jam aku termenung di depan rumahnya, tapi ia tidak kunjung pulang. Padahal waktu menelponnya tadi ia mengatakan hanya pergi sebentar ke supermarket untuk membeli keperluan Azura dan Andre. Dan beberapa menit yang lalu dia mengirimiku pesan kalau ia ada urusan lain.

Ya, urusan lain; urusan menghindariku.

Dalam kesepian yang menyelimuti hidupku saat ini, aku teringat kunjunganku beberapa Minggu yang lalu ke tempat ini. Saat aku mendapati putriku sedang mencoret-coret buku gambarnya dengan krayon.

"Putriku," sapaku sambil mengecup lembut pucuk kepala Azura. Rambutnya sangat wangi. Anak yang empat bulan lagi genap dua tahun itu tersenyum, memperlihatkan wajahnya yang lucu menggemaskan.

"Ayah?"

"Tidak, ayah tidak datang." Aku kemudian duduk di samping Azura. "Mau ayah suapi tidak?" Kebetulan sekali ada semangkuk puding coklat di depannya yang belum tersentuh sama sekali.

"Itu buat Om Andle, Ayah."

"Oh ya? Azura tidak suka puding?"

Putri kecilku itu menggeleng, menutup mulutnya dengan kedua tangannya yang mungil. Oh, ya Tuhan dia menggemaskan sekali.

"Kalau begitu, Apa mau makan susu kedelai saja? Ayah bawa banyak susu kotak."

Si mungil itu menggangguk dan menghambur ke arahku. Aku menyambutnya dengan senang hati ke dalam pelukanku. "Hmm. Pasti ini sangat enak. Ayah yakin kau akan suka, Sayang."

"Benalkah?"

Aku mengangguk dengan wajah masam. Azura sulit sekali menyebut huruf r dengan benar.

"Bunda mana?"

"Bunda di dapul."

"Nai! Aku datang. Kau tidak ingin menghambur juga ke pelukanku seperti Azura?!" Aku berteriak. Sebelum akhirnya wanita itu keluar dan memperlihatkan rambutnya yang dipenuhi tepung, tangannya yang terbungkus plastik dan wajahnya yang kusut masam. Tapi entah bagaimana aku tetap melihatnya sebagai wanita paling cantik di dunia. Tentu saja, dia baru mau masuk dua puluh lima tahun. Usianya masih terlalu muda untuk kelihatan tua.

"Ada apa?" Ia memandangku tidak senang. Tidak heran, 2 tahun belakangan dia memang berwajah dingin.

"Kau sedang perang atau apa? Kau terlihat kotor dan kusut, Nai."

"Terserah kau, Ezard. Tolong jaga Azura sebentar. Ada pesanan kue dan aku harus membuatnya."

Wanita itu kembali ke dapur. Aku menghela napas berat. Memandang Azura sebentar. "Apa nenek sihir itu memang secuek itu?"

Azura hanya tersenyum. Melingkarkan tangannya yang mungil lebih erat ke leherku. Ah, aku hampir lupa membukakan susu kedelai untuknya. Saat itu juga, aku menggendong Azura, mengambil satu susu kotak, lalu membawanya ke dapur, ke tempat di mana Naima sibuk dengan kuenya.

"Sudah kukatakan, menjadi istri Ezard Wattson dan mengelola toko bunga di pusat perbelanjaan jauh lebih mudah." Aku mencelupkan telunjukku ke adonan yang diaduk Naima dan mengecap rasanya. Tunggu, ini mengingatkanku pada—

Season With You || Lee Jeno [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang