34. Ezard Wattson

1.1K 99 1
                                    


⁠۝ ͒ ⁠⁠۝  ⁠⁠۝ ͒

Naima.

Ia langsung terlelap, namun aku di sini masih terjaga. Sudah pukul satu dini hari, tapi tak ada yang bisa membuatku kembali pada peraduan untuk sekedar mengimpikan bahwa kancil telah mencuri sesuatu di ladang gandumku, atau mimpi paling menyebalkan lainnya adalah ketika mimpi itu mengingatkanku pada mendiang orang tuaku.

Aku memandang wajah teduh itu sebentar, wajah sembab seperti seorang yang habis menangis. Tidak, aku tidak membuat Naima menangis malam ini. Hanya wajah Naima saja yang kelihatannya begitu.

Dia cantik, aku akui. Dia membuatku selalu merasa aman. Dia membuat jiwaku yang kacau ini mendapatkan ketenangan. Dia wanita baik. Sangat baik sehingga aku selalu merasa bahwa aku tidak pantas untuknya.

Tapi tak ada yang bisa kulakukan untuk mengubah itu. Aku membutuhkannya di sisiku. Dan semoga saja ia selalu setia mendampingiku dan tidak akan menyerah begitu saja untuk selalu menjadi yang paling sibuk mengurus segala keperluanku.

Dan perihal kepulanganku dengan Alana, smeoga saja ia tidak berpikir-pikir macam-macam. Karena tadi kelihatan sekali kalau ia terkejut ketika melihat Alana turun dari mobilku. Untungnya aku lelaki berpengalaman yang bisa menjelaskan semuanya dengan baik dan meyakinkan Naima bahwa Alana adalah gadis yang kebetulan satu acara denganku. Ia diundang karena usahanya yang murni. Hingga yang terjadi berikutnya adalah Naima memeluk adiknya, ia begitu bangga pada adik perempuannya itu.

Kemudian, aku mematikan lampu. Hanya menyisakan sinar kecil di atas nakas yang kelap-kelip. Aku tersenyum dan menghadapkan tubuhku ke sisi tempat dimana Naima berada.

Saat-saat seperti ini, aku selalu merasa ketakutan. Takut kalau wanita cantik yang biasanya berlari ke arahku ini mengambil langkah mundur untuk tidak mendekatiku. Takut kalau wanita yang selalu tersenyum manis menghadapku ini akan memalingkan wajah ke arah yang lebih menarik lainnya; karena sejatinya manusia tidak pernah puas dengan satu penerangan di hidupnya.

Dan jika itu terjadi. Aku mungkin akan kehilangan separuh diriku. Karena sudah hampir satu tahun ia menjadi istri yang sangat sempurna di mataku. Tidak ada celah sama sekali.

Aku menghela napas berat, lalu menyentuh surai legamnya dengan perasaan yang tak bisa kujelaskan. Saat aku dan ia bercakap-cakap kita menjadi sangat dekat; seperti sepasang kekasih yang saling mencintai dan tidak berani mengambil keputusan untuk tidak hidup bersama.

Aku rasa, aku tak perlu mengucapkan apa-apa. Karena cinta hanya akan jadi omong kosong jika hanya sebatas kata-kata. Toh, selama ini aku memberikan perhatian lebih padanya bukan karena ia mengatakan kalimat cinta ratusan kali dalam sehari. Bukan aku tidak peduli dengan itu, sekalipun ia mengatakannya untuk membuatku luluh. Aku hanya percaya pada tindakannya. Pada apa yang kulihat.

Ketika ia mencintaiku, maka ia akan memberikan seluruh waktunya untukku, mengorbankan hal-hal lain dalam hidupnya demi diriku, memperhatikan setiap inci baik dan buruknya kebiasaanku, melarangku jika aku berbuat salah, menasehatiku jika aku mulai keluar jalur, mengomeliku jika ia merasa jengkel dan menghawatirkan keselamanku.

Aku jadi ingat kejadian beberapa bulan yang lalu; saat aku sakit dan tidak bisa melakukan apa-apa. Ia terus terjaga sepanjang malam dan merawatku dengan cinta dan sabar. Mengkhawatirkanku lebih keras sampai ia menangis karena kebingungan harus melakukan apa. Sesuatu yang tidak pernah dilakukan siapapun sebelumnya.

Saat itu ia terlihat sangat panik. Sementara aku masih menggulung diri di atas kasur dengan suhu tubuh yang jauh dari kata normal. Wajahku mungkin pucat, dan mataku rasanya sangat perih, aku menggigil dan bibirku terasa panas seperti dibakar.

"Kita ke rumah sakit saja." Ia mengompres kepalaku dengan kain basah.

"Suhu tubuhku masih bisa ditoleransi. Jadi tidak perlu."

Aku berbohong, karena sejujurnya aku malas bergerak. Biasanya kalau sudah demam begini, aku hanya perlu membiarkan diriku tidur di atas ranjang tanpa memikirkan apapun. Dan dua hari atau tiga hari setelahnya akan sembuh sendiri.

Tapi kali ini jelas berbeda, karena aku sudah mempunyai seorang istri yang mengurus segala keperluanku dan mengkhawatirkan kesehatanku. Jadi, membiarkan penyakit sembuh sendiri tanpa dibantu obat adalah sebuah kejanggalan, lebih-lebih bagi Naima yang melihatku hanya demam tinggi saja sudah membuat matanya sembab sepanjang malam.

Ia bahkan tidak tidur! Asal kau tahu, padahal aku dengan enteng malah tertidur. Sebenarnya itu bukan salahku. Aku sudah mengatakan kalau aku tidak apa-apa dan akan sembuh dengan sendirinya. Tetapi si lebai Naima ini tidak mendengarkan dan memilih meratapiku seperti aku akan mati saat itu juga.

"Tidur, Nai. Aku tidak ingin kau sakit hanya karena menangisiku sepanjang malam."

"Bagaimana aku bisa tidur?"

"Berbaring di sampingku, lalu tutup matamu dan tidur. Semudah itu, Sayang."

Kebetulan saat itu ia duduk di tepian ranjang sambil mengelus kepalaku yang panasnya minta ampun sampai rasanya ingin pecah.

"Disaat-saat seperti ini kau masih saja bercanda!"

"Memangnya aku harus apa lagi? Aku tidak akan menangisi diriku sendiri seperti yang kau lakukan, Nai."

"Kau mengejekku!"

"Kau selalu merasa aku mengejekmu." Aku mengusik wajah Naima yang sembab karena air mata. Masih sempat tersenyum menggoda padanya.

"Sudah, tidur saja. Jangan banyak bicara."

"Kepalaku yang sakit, bukan mulutku." Aku mencibir, ia selalu kesal kalau aku sudah bertingkah menyebalkan seperti ini.

"Lain kali biar mulutmu saja yang sakit." Naima kesal.

"Kalau begitu aku tidak akan bisa menciummu lagi, Nai."

Aku menarik selimut untuk menutupi seluruh tubuhku, menyisakan kepala sedikit karena Naima masih setia mengelusnya di bagian puncak.

"Tidak masalah, banyak ciuman lain di luar sana."

Ouch ....

Aku tidak percaya dengan kalimatnya barusan. Itu terlalu tidak baik untuk Naimaku yang seperti bidadari ini.

"Hhh! Kau bahkan sangat ketakutan saat pertama kali berciuman denganku. Tentu tidak akan berani berciuman dengan orang lain."

"Kau!"

Naima melirik sebal. Melempar kain basah yang tadinya mau ia taruh di dahiku dan kini malah berakhir tepat di atas mulutku.

"Jangan aneh-aneh. Aku tidak ingin ditertawakan di depan gedung pengadilan saat mereka mendapati berita kalau Ezard digugat cerai karena istrinya sudah lama tidak mendapatkan ciuman sebab Ezard sakit mulut."

Aku masih bersikukuh untuk menggodanya lebih lama lagi.

"Berita tidak bermutu seperti itu tidak akan ditayangkan!"

Hei! Ia menjadi berapi-api dan mungkin saja akan menendangku hingga tersungkur ke lantai kalau saja ia tidak menimang-nimang bahwa saat ini aku sedang sakit.

Payah!

Dia tidak pernah bisa diajak untuk sekedar bercanda! Dia selalu serius bahkan ketika aku mengatakan kalau aku tidak menyukai masakannya dengan wajah bergurau pun ia akan langsung mempercayainya.

Hah!

Beberapa bulan yang lalu ia juga kutemukan menangis di sudut kamar mandi. Menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan dengan tubuh yang menghadap ke dinding.

Dan kau tahu alasannya menangis karena apa? Karena aku lupa mengabarinya kalau aku tidak bisa makan malam di rumah bersamanya. Katanya ia sudah memasak banyak malam itu. Alhasil aku harus membujuknya dengan mengajaknya berkeliling kota malam itu. Dan sampai saat ini, hal itu menjadi kebiasaan yang aku dan ia selalu lakukan ketika malam minggu tiba.

"Aku kan hanya bercanda. Memangnya kau sungguhan akan menggugatku kalau aku tidak bisa lagi memberimu ciuman? Huh! Tega sekali!"

Aku geleng-geleng sendiri membayangkan hal itu. Jujur saja, jiwaku yang keras ini sedikit tersentuh karena kelembutan Naima.






......

Season With You || Lee Jeno [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang