11. Ezard Wattson

1.7K 157 0
                                    





۝ ͒⁠۝ ۝ ͒

Sorak-sorai melantunkan nada tersendiri di antara orang-orang yang menikmati hidup. Di ruangan super gelap ini, hanya ditemani beberapa lampu kelap-kelip. Dentingan gelas beradu secara sistematis kala seseorang menyentuhnya sembari tersenyum tipis. Tampaknya ia mabuk berat, alam bawa sadarnya membawanya pada ketidakwarasan sesaat.

Aku telah siap dengan kacamata hitamku menuju lantai dansa dengan seorang wanita yang masih berusia belasan tahun. Ini sudah kedua kalinya aku bersamanya. Wanita tinggi dengan rambut yang bergelombang, membuatnya tampak elegan.

Kakinya yang jenjang, membuatku semakin ingin bersamanya, namun ponselku berdering. Aku mengambilnya langsung  dari saku celana dan mendapati panggilan dari nomor yang tak dikenal.

Senyuman tipis merambah wajahku sesaat. Sesaat hasrat untuk menuju lantai dansa hilang begitu saja.

"Ada yang bisa dibantu, Nona?" tanyaku pasti bahwa yang menelpon adalah seorang perempuan.

"Aku butuh uang dan bersedia menerima tawaranmu," nadanya datar, terdengar angkuh tapi sungguh aku tak peduli akan hal itu.

"Baiklah, dua puluh menit setelah ini kita bertemu di kafe Lafata di pinggir pantai. Kau akan sampai sepuluh menit lebih awal dariku, jika kau berada di rumah sakit yang sama." Aku sangat bersemangat menjelaskan setiap detail padannya.

"Ya." Terdengar lembut, tetapi juga menekankan nada penyesalan.

Terlalu bersemangat membuatku lupa pada wanita yang telah menggenggam erat tanganku. Wajahnya tampak begitu cemburu, tetapi ia juga sadar ia tidak punya hak untuk sekedar menahanku.

“Siapa?” Ia menarik tubuhku agar merapat padanya.

“Kau akan tahu nanti.”

Aku berjalan menjauhinya tanpa pamit.

Cukup! Aku tidak butuh izin dari siapa pun. Mulut wanita itu bisa langsung tertutup dengan uang. Aku hebat bukan. Bagiku ini yang namanya kebahagiaan. Berjalan dari satu tempat ke tempat yang lainnya. Menatap dunia dengan senyuman paling menjengkelkan.

Aku tak punya teman dekat. Di mata orang lain aku adalah si manusia jahat yang tak punya perasaan. Pekerjaku mengakui kalau aku ini bos tidak kenal ampun, ketat, dan berintegritas tinggi.

Hatiku sudah hancur berkeping-keping semenjak belasan tahun yang lalu. Segala macam rasa tak ada yang tersisa. Kini hanya tinggal hasrat dan ambisi yang ingin terus bersenang-senang.

Aku menjadi serakah, dan memiliki ambisi yang tidak jelas perkaranya. Sebelum akhirnya menghilang dari tempat ini, aku menarik segelas minuman yang ditawarkan pelayan, tidak perlu kubayar, karena jelas aku salah satu penyumbang saham terbesar di club ini.

⁠۝ ۝ ͒⁠۝


Aku berjalan menuju gedung kafe Lafata dan menikmati keindahan yang disajikan di dalam kafe yang bergengsi nasional ini, dengan pengunjung yang terus berdatangan.

Mataku menangkap sosok wanita berambut panjang hitam legam yang juga menikmati keindahan kafe ini. Tapi kurasa, ia lebih membayankan segala kemungkinan tentang adiknya, karena dari raut wajahnya, ia kelihatan tidak baik-baik saja.

Tak ada pesanan apa pun di atas mejanya. Sangat disayangkan sekali, uangnya terlalu tipis untuk sekedar membeli jus buah atau coffe di kafe ini.

Tatapannya datar, sangat datar.  Sehingga aku tak bisa membaca apa yang berputar di kepala wanita itu. Namun, aku rasa genangan air suci di matanya bisa menenggelamkan seseorang dalam lautan murkanya.

Season With You || Lee Jeno [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang