38. Ezard Wattson

1.1K 102 1
                                    


⁠۝ ͒ ⁠⁠۝  ⁠⁠۝ ͒

"Sekarang katakan, apa kau ingin terus bersamaku?"

Aku memberikan anggukan sebagai jawaban.

"Kau tidak ingin kehilangan aku?"

Sekali lagi aku mengangguk setuju. Diikuti dengan tanganku yang menarik tangannya ke sisiku. Memberikan sentuhan lembut di punggung tangannya.

Ekspresi di wajahnya sudah berubah. Tidak kulihat lagi wajah merahnya karena marah seperti saat bercerita tadi. Ia lebih kelihatan seperti biasanya, sayu dan teduh seperti habis menangis.

Sial sekali, wajah lembutnya selalu membuat hatiku tergerak untuk menyimpannya di dalam lemari–menyembunyikan dirinya dari kejamnya dunia ini.

"Lalu kenapa kau masih terus mengabaikanku padahal kau tahu aku membutuhkanmu di sisiku?"

Ouch....

Wanitaku yang malang. Sedari tadi ia mengomeliku hanya untuk membuatku menyadari bahwa ia membutuhkan perhatian lebih dariku dan tidak suka diabaikan. Aku tidak tahu seberapa kesepiannya ia menjalani hidupnya selama menjadi istriku beberapa bulan ini.

Maaf, Sayang.

Aku melupakan kewajiban pentingku untuk membahagiakan jiwanya.

"Kau selalu sibuk. Selalu membuat jarak. Selalu membunuh keromantisan dalam pernikahan kita. Menghancurkan drimu sendiri dengan hanya tidur dua jam sehari, seperti berniat meninggalkan bumi lebih cepat dan semua orang akan melemparkan status janda padaku sekalipun aku tidak suka. Aku ketakutan untu yang satu itu."

Air matanya tiba-tiba jatuh. Sejak awal aku sangat paham dia bukan tipikal wanita yang pandai menyembunyikan air matanya. Dia sering menangis, lebih banyak menangisi semua hal yang membuatnya sedih.

Dia benar-benar melankolis. Aku tidak mengerti bakatnya yang satu ini ia dapat dari mana. Tapi kalau boleh jujur, aku tidak suka melihatnya menangis. Padahal sebelumnya biasa saja saat melihat mama sambungku menangis di depan mata kepalaku.

Setiap dia punya masalah. Hal pertama yang ia lakukan pasti adalah menangis, tidak peudli itu masalah kecil sekalipun. Intinya, dia suka menangis. Bahkan ketika aku menceraikannya di mimpi saja, ia menangis sampai tengah malam dan susah sekali dibujuk kalau sudah begitu.

Kadang aku merasa seperti menikahi balita; karena ia kebanyakan air mata. Dan juga sering merajuk perihal hal-hal kecil. Tapi di bagian yang lain, aku merasa menikahi seorang ibu-ibu tua; cerewet dan banyak mengomeliku. Tapi kadang juga aku merasa menikahi wanita gila; dia sering tertawa sendiri dalam beberapa hal, mencium bibirku dengan bar-bar, atau membuatku kepanasan sepanjang malam.

Tapi dari semua yang kurasakan, aku selalu ingin bersamanya karena rasanya sangat tenang dan nyaman.

"Aku lelah." Ia menyudahi sebelum akhirnya benar-benar memalingkan wajah. Dan itu membuat perasaanku menjadi tidak nyaman.

"Nai...."

Aku menangkup wajah Naima dengan kedua telapak tangan agar membuatnya kembali melihatku–menatapku karena aku tidak ingin ia berpaling. Tapi wanita itu masih kukuh tidak ingin menatap.

Aku menghela napas. Ini bukan yang pertama kali ia mengatakan kalau ia lelah. Meski selama ini aku membiarkannya mengatakan itu lebih banyak dan memilih mengabaikannya, karena sebelumnya ia tidak pernah berucap demikian sambil berlinangan air mata begini.

Lelaki manapun di dunia ini pasti tidak akan sudi melihat wanitanya menangis. Menanggung beban sendirian. Karena resiko dari sebuah pernikahan, harus dinikmati berdua walau sangat menyakitkan.

Season With You || Lee Jeno [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang