harapan

11 5 0
                                    

Ternyata kehilangan sesuatu yang seharusnya selalu ada itu menyakitkan ya. Apalagi alasan kehilangan itu adalah sahabatmu sendiri.

Setelah mengantar Okta kerumah, Lana memutuskan langsung ke basecamp Lake boys. Sesuai perkataanya kepada sahabat-sahabat nya saat disekolah. Dengan kecepatan diatas rata-rata membuat Lana tak membutuhkan waktu yang lama untuk sampai ke Warung Mbak Ririn. Sebuah kedai makanan pinggir jalan yang sudah lama menjadi tempat paling nyaman kedua setelah rumah mereka masing-masing.

Ditempat ini semuanya terasa lengkap. Bahkan sesuatu yang tidak pernah didapatkan dirumah bisa mereka dapat disini.

"Wees...si bos baru dateng darimana ajee lo?" Sambut Kiki dengan suara khasnya.

Lana diam tak menjawab.

"Biasa Ki palingan abis ngudatngudet sama dede emesss.." Bukan Lana yang menjawab, tetapi kembarannya dekican, Evan.

"Oohh pantes dari tadi saya mencium sesuatu yang kian hari kian mekar ditengah ladang bertamakan perasaan bertanam cinta asikkk..." Ucap Kiki ngecapruk kemana-mana sambil mengendas-ngendus Lana.

Pletak

"Balasan buat mulut lo yang gak ada filternya." Alvin yang sedari tadi diam pun bersuara, geram dengan kelaukan dua kembar siam itu.

Sedangkan Lana, dengan tampang tak berdosanya setelah menjitak kepala Kiki langsung duduk dibangku kayu yang ada disana.

"Sakit bego! Ya ampun salah apa diriku sehingga selalu teraniaya. Apa ini balasan dari ketampanan wajahku yang tiada tara?." Drama tujuh hari tujuh malam segera dimulai.

"Berisik lo, gua sumpel juga mulut lo pake kaos kaki si Jono." Ancam Lana menggunakan nama teman satu kelasnya yang punya kaos kaki harum semerbak.

"Hahaha bisa pingsan dadakan si Kiki. Asli tuh si Jono kan gak pernah ganti kaos kaki selama lima semester.
Gilaaa nikmat dunia yang patut dibudidayakan hahaha." Dikata kembar siam, gak Kiki gak Evan otaknya cuma seprempat otak nobita.

"Gila." Sarkas Alvin

"Emang susah ngomong sama manusia yang idupnya lempeng kek papan triplek." Balas Evan yang langsung mendapat tatapan maut sorang Alvin.

"Udah?" Lana benar-benar heran, dari ketiga sahabatnya cuma satu yang otaknya masih duduk ditempat. Sedangkan kedua teman yang lainnya, Lana yakin jika otak mereka sudah loncat dan pindah raga yang lebih waras.

Semua langsung kicep saat Lana sudah bicara seperti itu, bak anak ayam yang nurut sama induknya.

"Mbok Ririn." Panggil Lana kepada penjual disini. Dan dengan senang wanita paruh baya itu menghampiri Lana.

"Saya pesan kayak biasa ya." Pesan Lana.

"Siap. Apa si yang enggak buat den ganteng." Goda Mbok Ririn. Penjual ini memang dikenal jenaka dengan pembawaanya yang have fun. Maka dari itu mereka semua nyaman berada ditempat ini.

"Yeuu si Mbok inget umurr udah tuir masih aja godain brondong." Jawab Evan dengan kekehan diakhir kalimatnya.

"Udah gitu pinter lagi brondongnya kualitas jempolan, bukan kaleng-kaleng hahaha." Sambung kembar siamnya.

Mbok Riri, Lana dan Alvin serempak menggelengkan kepala melihat kelakuan mereka yang semakin parah  dan abstrak setiap harinya.

Setelah menghabiskan waktu dibase camp, mereka memutuskan kembali kerumah masing-masing. Tetapi tidak dengan Lana dia memutuskan untuk mampir dulu kerumah sakit.

****

Dilain tempat, Herra termenung disebuah sofa yang disediakan diruang rawat inap omanya yang kini tengah tertidur dengan pulas. Seketika sekelibet bayangan tentang Lana dan Okta menghampiri fikirannya.

L'AMOURTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang