Selama 29 tahun hidup Jingga, masa terberatnya adalah tujuh tahun lalu. Hari itu harusnya menjadi hari yang paling membahagiakan buat Jingga dan Gytha.
Gytha resmi wisuda.
Tandanya Jingga sudah bisa melamar Gytha sesuai dengan perjanjian mereka. Tapi, bukannya raut wajah bahagia yang Jingga dapatkan, tapi justru kepanikan karena Gytha tidak hadir di acara wisudanya.
Jingga kebingungan karena Gytha tidak memberitahu apapun padanya. Namun tiba-tiba sebuah telfon—yang sampai sekarang masih menjadi mimpi buruk bagi Jingga— memberitahu keadaan Gytha sekarang.
Hanya dengan satu kalimat yang benar-benar mampu membuat tangis Jingga pecah saat itu juga.
"Jing... Gytha udah ga ada"
Ia mendapat telfon dari Dimas, salah satu sahabat Jingga dan Gytha sejak jaman SMA. Awalnya Jingga hanya marah karena ia kira Dimas bercanda.
Namun dari sambungan telfon itu, ia mendengar suara isakkan. Tandanya Dimas tidak berbohong.
Seketika itu pula, cincin dan bunga yang ada di tangan Jingga terjatuh di tanah, bersamaan dengan runtuhnya pertahanan seorang Jingga.
Ketika ia berfikir itu adalah tangisan terakhirnya, ternyata Tuhan berkehendak lain.
4 tahun setelahnya, disaat Jingga sudah bisa menerima kepergian Gytha, giliran sang Mama yang dipanggil Tuhan. Dan di saat itu, Jingga benar-benar marah dan merasa dunia tidak adil padanya.
Semenjak itu.
Semenjak itu Jingga takut mencintai wanita. Karena semua sosok perempuan yang ia cintai terus-menerus meninggalkannya.
"Kak Jingga udah pulang?" Tanya seorang gadis dari arah sofa.
Jingga tersenyum "Udah, Ann... Juna mana?" Tanyanya balik
Ana yang tengah memakan timun itu pun menunjuk ke arah atas. Jingga dengan mudah memahami apa yang dimaksudkan Ana.
"Papa belum pulang?" Tanya Jingga sambil membuka kancing lengannya dan menggulungnya sebatas siku.
Ana menggeleng sebagai jawaban.
Fikiran Jingga sedikit menerawang. Lalu ia ingat bahwa papanya memang ada rapat penting. Wajarlah. Namanya juga ketua yayasan.
"Kakak ke Juna dulu ya" ucap Jingga sebelum menaiki tangga menuju kamar Arjuna.
Ia sudah sampai di depan kamar Juna. Namun begitu ia ingin membukanya, tangannya seolah berhenti di depan kenop pintu.
Selain karena sopan santun, sebenarnya hubungan dua kakak beradik ini tidak sedekat itu hingga Jingga bisa seenaknya nyelonong masuk ke kamar Juna.
Kalau diibaratkan, Jingga dan Juna itu kayak dua biskuit Oreo yang kepisah selai coklat. Hal yang bikin mereka ngejauh, itu juga yang nyatuin mereka.
Bisa dibilang, selai itu Mama. Mama Ellyana adalah salah satu alasan yang bikin Juna sama Jingga kayak air sama minyak. Tapi dia juga bisa bikin mereka tetep nyatu kayak perangko sama surat.

KAMU SEDANG MEMBACA
Ineffable [END]
Ficción General[Ineffable Universe Phase 1] "I always grateful for everything I have. Home, job, friends- -and also you." -Pradipta Jingga Danendra